Sudah Jalan Tiga Jam, Bayi Keburu Lahir

Sudah Jalan Tiga Jam, Bayi Keburu Lahir
Sudah Jalan Tiga Jam, Bayi Keburu Lahir
"Dulu tidak begini. Pasien sangat minim karena takut berobat. Mereka lebih percaya kepada dukun," ujar Rosita setelah menangani sejumlah pasien. Pagi itu wartawan koran ini melihat sedikitnya tiga wanita Suku Badui yang sudah keluar masuk ke ruang praktiknya untuk mendapatkan penanganan medis.

 

Pada jam-jam tertentu sebelum atau setelah bertugas di Puskesmas Ciboleger, wanita 38 tahun itu membuka praktik di kediamannya. Jawa Pos pun dipersilakan masuk untuk melihat ke balik pintu praktik tersebut. Ruang praktik berukuran 3 x 4 meter itu sangat sederhana. Dindingnya dipenuhi poster cara hidup sehat dan gambar ilustrasi cuci tangan. Juga ada foto ibu hamil dan janin. Dua buah stetoskop tergantung di salah satu sudut ruang. Di meja praktik  ada beberapa mainan anak-anak. "Maaf, maklum anak saya masih kecil, jadi suka bikin kacau di rumah," canda Rosita sambil merapikan tempat praktiknya.

 

Setelah berbasa-basi, Rosita mulai membuka lembaran kisah hidupnya. Dia menjelaskan bahwa suku Badui adalah kelompok masyarakat yang menerapkan hidup bersahaja dan bertahan bersama tradisi nenek moyang mereka. Sudah ratusan tahun mereka hidup mengasingkan diri dari modernitas dan hidup selaras dengan keaslian alam. Jauh dari ingar-bingar modernitas, termasuk di bidang kesehatan sekalipun. Bahkan,  sejak era kemerdekaan, berkali-kali sudah tenaga medis didatangkan dari ibu kota dan silih berganti pula mereka kembali dengan tangan kosong karena ditolak warga suku Badui. "Kondisi itu yang justru memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan saya di sini," kata wanita berjilbab tersebut.

 

Dengan misi itu, ketika menjadi pegawai tidak tetap (PTT) kesehatan, Rosita memilih ditugaskan ke Desa Kanekes, desa yang menaungi 59 kampung Badui, dalam dan luar. Bidan Ros "begitu dia akrab dipanggil" menuturkan, sebelum dirinya berhasil membuka akses pengobatan di pedalaman, suku Badui menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses kelahiran. Kedatangan sejumlah tenaga medis kerap dianggap sebagai pelanggaran terhadap tradisi leluhur yang membatasi diri dari sentuhan dengan dunia modern. Namun, kata Rosita,  kebiasaan itu yang membuat derajat kesehatan suku Badui, terutama kaum ibu dan anak-anak, stagnan dan cenderung menurun. Menyadarkan pentingnya kesehatan kepada suku Badui bukan tugas mudah. "Saya mulai bertugas di posyandu pada 1997. Dari rumah, saya harus menyiapkan imunisasi, bubur kacang. Saya ketok dari pintu ke pintu di satu kampung. Demikian yang saya lakukan berulang-ulang," kata ibu dua anak itu.

 

  Penolakan suku Badui Dalam terhadap metode pengobatan modern kini mulai terkikis. Berkat kegigihan Bidan Eros Rosita, mereka mengenal jarum

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News