Suku Bunga Acuan Bertahan
BI Rate Tetap 7,5 Persen
jpnn.com - JAKARTA - Bank Indonesia (BI) terus mengantisipasi berbagai risiko yang mengancam keluarnya dana asing dari tanah air. Karena itu, otoritas moneter itu memilih merawat duit investor agar tetap betah dan dapat membiayai perekonomiam nasional.
Salah satu upayanya adalah dengan mempertahankan kebijakan moneter ketat melalui tingkat suku bunga tinggi.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, rapat dewan gubernur BI untuk kali kesekian memutuskan tingkat suku bunga acuan (BI rate) di level 7,5 persen.
Dengan suku bunga lending facility dan deposit facility masing-masing 7,50 persen dan 5,75 persen. "Normalisasi kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) kami lihat sebagai risiko yang terus kami waspadai," jelasnya di Gedung BI kemarin (10/7).
Sebagaimana diwartakan, Bank Sentral AS merencanakan menaikkan suku bunga acuan (Fed rate) pada 2015. Hal tersebut menjadi ancaman bagi negara berkembang yang selama ini menikmati aliran dana stimulus moneter AS. Sebab, dengan bunga rendah sekalipun, kenaikan Fed rate akan sangat menggiurkan bagi pemodal.
Investor asing pun dikhawatirkan bakal hengkang dari pundi-pundi negara berkembang termasuk Indonesia dan memilih menempatkan dananya di Negeri Paman Sam kembali.
Karena itu, kebijakan moneter ketat diperlukan untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Misalnya berguna untuk menambal defisit transaksi berjalan akibat tingginya arus importasi, sekaligus untuk mendorong kinerja ekspor nonmigas maupun migas.
"Hingga Juni 2014, kebijakan bunga tinggi kita bisa menarik portofolio asing ke pasar keuangan hingga USD 11,54 miliar. Sebanyak 68 persen masuk ke surat berharga negara (SBN), dan 20 persen ke saham. Sisanya kurang dari 18 persen ke sertifikat BI (SBI)," jelasnya.
Pilihan kebijakan BI dan pemerintah mendapatkan apresiasi dari Fitch Rating. Lembaga pemeringkat internasional tersebut menilai kebijakan moneter ketat dan nilai tukar yang fleksibel telah memberikan efek positif pada posisi eksternal.
Misalnya dapat menekan defisit neraca perdagangan dari USD 9,1 miliar pada September 2013 menjadi USD 2,4 miliar pada Mei 2014. Cadangan devisa juga berangsur meningkat 8,3 persen year to date (ytd) menjadi 107,7 miliar.
"Kami menilai Indonesia rentan risiko eksternal salah satunya karena defisit transaksi berjalan. Kami berpendapat asumsi dalam pengeluaran subsidi sulit dicapai tanpa adanya revisi lebih lanjut dari harga BBM. Karena akan perberat fiskal dan biaya energi," ungkap Senior Direktur Sovereigns Fitch (Hongkong) Limited Andrew Colquhoun.
Agar Indonesia tak terpengaruh pembalikan dana global dan kehilangan posisi kredit rating, dalam enam hingga 12 bulan ke depan pemerintah harus memrioritaskan stabilitas ekonomi.
"Untuk jangka panjang, sejauh mana pemerintahan baru akan melewati reformasi struktural, dan akan membawa Indonesia menuju pertumbuhan yang lebih tinggi secara berkelanjutan," tegasnya. (gal/oki)
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) terus mengantisipasi berbagai risiko yang mengancam keluarnya dana asing dari tanah air. Karena itu, otoritas moneter
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- GB Sanitaryware dan Christian Sugiono Garap Project Rahasia di Bali
- Pertamina Patra Niaga Tingkatkan Inspeksi ke SPBU
- Lewat Transisi Energi Terbarukan, Indonesia Bisa Menurunkan Emisi GRK
- KAI Living Gondangdia Masuki Tahap Penyelesaian
- SIG Raih Peringkat Gold di Ajang Asia Sustainability Reporting Rating Award 2024
- Berkomitmen Terapkan Keuangan Berkelanjutan, BNI Kantongi Gold Rank ASRRAT 4 Tahun Berturut-turut