Sulit Mencari Sumber Dana Pembangunan PLTU
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, pemerintah belum berhasil menciptakan iklim fiskal dan kebijakan yang kondusif untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Akibatnya, sambung Arthur, biaya pembangunan pembangkit dan listrik EBT terlalu mahal.
’’Kemampuan EBT akan naik menjadi 12 GW pada 2025. Makin turun biayanya, switching (bahan bakar) fosil ke EBT juga bakal lebih cepat,’’ papar Arthur, Kamis (21/2).
Dia menyatakan, target bauran energi 23 persen pada 2025 memang fantastis. Sebab, mencari sumber dana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sudah sulit.
Di Eropa, tren telah beralih ke energi bersih. Meski begitu, pembangunan PLTU masih relatif lebih murah jika dibandingkan dengan proyek lain.
Biaya yang dibutuhkan untuk membangun PLTU berkisar USD 1,7 juta (sekitar Rp 23,9 miliar).
Biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai USD 3,5 juta (sekitar Rp 49,2 miliar).
Sementara itu, biaya pembangunan pembangkit geotermal menembus USD 6 juta (sekitar Rp 84,3 miliar).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, pemerintah belum berhasil menciptakan iklim fiskal dan kebijakan yang kondusif untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
- Electricity Connect 2024 Siap Jadi Sarana Solusi Inovatif untuk Tantangan Transisi Energi Bersih
- Prabowo: Indonesia Dukung Energi Terbarukan & Pengurangan Emisi Karbon
- IESR Sebut IPO Menjadi Salah Satu Opsi Pendanaan Energi Terbarukan Melalui Bursa Efek
- Survei Schneider Electric: 71 Persen Pemimpin Bisnis Memprioritaskan Keberlanjutan
- Bareskrim Usut Dugaan Korupsi Pembangunan PLTU Kalbar
- Dukung Energi Bersih, KCE Tawarkan Solar Panel untuk Industri & Rumah Tangga