Sultan

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sultan
Raffi Ahmad: Foto: Ricardo/jpnn.com

Kedua, di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta sebesar 15 persen. Ketiga, di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan pajak sebesar 25 persen.

Keempat, penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta kena pajak sebesar 30 persen. Dalam usulaan terbaru para sultan dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar akan kena pajak 35 persen.

Kalau seseorang berpenghasilan sekitar Rp 4,5 juta sebulan, dia harus membayar pajak sekitar Rp 200 ribu sebulan, sehingga dia menerima bersih Rp 4,3 juta. Ini adalah upah minimum di Surabaya yang hanya cukup untuk hidup pas-pasan selama sebulan.

Ini juga berarti tidak ada seorang pun yang bekerja yang bisa lolos dari pajak, karena pekerja dengan gaji minimum UMR pun sudah kena pajak.

Peribahasa Inggris mengatakan, hanya dua hal yang tidak bisa dihindarkan oleh manusia, yaitu mati dan pajak. Artinya, setiap orang pasti mati, dan setiap orang pasti membayar pajak.

Oleh karena itu, di negara demokrasi Barat, pajak adalah benda sakral. Penyelewengan terhadap pajak adalah penyelewengan level tertinggi yang tidak terampunkan.

Anggaran negara di negeri Barat disebut sebagai ‘taxpayer’s money’, uang pembayar pajak. Penyeleweng anggaran di negara Barat disebut sebagai penyeleweng uang pembayar pajak dan langsung mendapat dua hukuman sekaligus, yaitu hukuman penjara dan partainya dihukum pemilik suara dalam pemilu.

Di Indonesia, pencoleng uang negara bisa lolos dua-duanya, lolos dari penjara dan partainya tetap menang pemilu. Para koruptor pencoleng anggaran di Indonesia tidak merasa berdosa, karena menganggap yang dicolong adalah uang negara, bukan uang pembayar pajak.

Sultan adalah sebutan untuk raja di sebuah negara monarki Islam. Kini ada Sultan Raffi Ahmad dan kawan-kawan yang kaya raya dari penghasilan di media sosial.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News