Sultan

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sultan
Raffi Ahmad: Foto: Ricardo/jpnn.com

Uang negara dianggap tidak sesakral uang pembayar pajak, karena negara pasti kaya, sedangkan pembayar pajak bisa termasuk orang miskin yang hidup pas-pasan.

Itulah yang membuat korupsi di Indonesia sulit diberantas. Selain hukumnya longgar dan sekarang kekuatan KPK dipereteli, cara pandang terhadap uang anggaran negara juga menjadi faktor yang menentukan.

Korupsi di Indonesia terjadi pada anggaran apapun. Anggaran bantuan sosial untuk rakyat miskinpun dikorupsi tanpa belas kasihan. Anggaran ibadah haji dikorupsi, anggaran pengadaan Al-Qur'an dikorupsi.

Para koruptor itu punya latar belakang beragam, mulai dari menteri, politisi, anggota dewan, para kepala daerah, dan pejabat di instansi. Tingkat pendidikan dan pengetahuan agama tidak berkorelasi dengan korupsi.

Ada gubernur bergelar profesor melakukan korupsi anggaran. Ada politisi bergelar kiai melakukan korupsi anggaran. Ada kepala daerah hafal Al-Qur'an pun melakukan korupsi anggaran.

Menko Polhukam Mahfud MD mengakui korupsi di era reformasi sekarang ini lebih buruk dan jauh lebih meluas dibanding korupsi zaman Orde Baru. Pada zaman Pak Harto, kata Mahfud, korupsi dilakukan secara tersentralisasi, terpusat di Jakarta.

Skala korupsinya juga relatif tidak terlalu besar. Korupsi ratusan juta saja sudah bikin heboh.

Sekarang ini, kata Mahfud, korupsi mengalami desentralisasi, menyebar ke seluruh daerah dan melebar kesamping, kiri, kanan. Makin luas penyebaran korupsi, makin sulit penanganannya.

Sultan adalah sebutan untuk raja di sebuah negara monarki Islam. Kini ada Sultan Raffi Ahmad dan kawan-kawan yang kaya raya dari penghasilan di media sosial.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News