Sumpah Pemuda Versi 4.0

Sumpah Pemuda Versi 4.0
Sumpah Pemuda 2021. Ilustrasi: Sultan Amanda/JPNN.com

Anak-anak muda itu tahu betul bahwa untuk menghadapi keganasan itu tidak ada jalan lain kecuali harus bersatu padu sebagai kekuatan yang utuh.

Mereka datang dari latar belakang budaya yang beda. Kulit mereka beda, agama mereka beda, budaya adat istiadat tak ada yang sama.

Itulah hebatnya imajinasi anak-anak muda itu. Dengan merumuskan tiga sumpah itu mereka sama-sama membayangkan bahwa mereka diikat oleh cita-cita yang sama. Mereka sama-sama merasa senasib sepenanggungan, mereka diikat oleh sebuah imajinasi sehingga terbentuklah apa yang oleh Anderson disebut sebagai “imagined community”.

Anak-anak muda bisa dengan akur menemukan rumusan yang sangat visioner. Berbeda sekali dengan para pemimpin yang kemudian pada 1945 bersidang menyiapkan rumusan dasar negara.

Perumusan itu ribut dan ribet karena memperdebatkan peran agama dalam pondasi kenegaraan.

Anak-anak muda peserta Sumpah Pemuda itu tahu, kalau saja faktor agama dimasukkan dalam rumusan sumpah pemuda, maka yang terjadi malah ribut, atau sangat mungkin sumpah pemuda tak bakal pernah lahir di dunia.

Bayangkan kalau ada yang ngotot minta supaya rumusan ditambah dengan “Beragama satu, agama….”

Pasti banyak di antara mereka yang menjadi aktivis Islam, karena Muhammadiyah sudah lahir 16 tahun sebelumnya, NU lahir dua tahun sebelumnya.

Kini, 93 tahun berselang, semangat Sumpah Pemuda harus terus-menerus direvitalisasi supaya tetap relevan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News