Surabaya Lombok
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Ternyata ada lift di kapal ini. Dua lift. Gandengan tangan pun dilepas. Naik lift. Kami turun di lantai empat. Di situlah kamar kami. Sebagian penumpang turun di lantai tiga.
Tas kresek nasi Padang-Aceh ditaruh di meja dekat sofa. Saya pun mencoba membantingkan badan di ranjang. Enak. Anak-menantu di kamar lain. Enam cucu di kamar yang berbeda lagi.
Pemilik kapal masuk kamar: Satrio WCS. Anak muda. Dia cucu pendiri PT Dharma Lautan Utama. Lulusan Seattle. Pernah ikut tinggal di rumah John Mohn di Kansas. Bapaknya teman olahraga sepeda anak saya.
Masih ada waktu 1,5 jam sebelum berbuka puasa. Dia mengajak kami tour de ferry. Naik turun ke semua lantai: ke restoran. Ke ruang karaoke. Ke masjid. Ke jogging track.
Melihat jogging track yang atraktif itu saya berpikir: di sinilah saya, besok pagi, akan senam-dansa satu jam. Saya sudah membawa speaker mini untuk memutar lagu-lagunya.
Menjelang saatnya azan magrib kami kembali ke kamar masing-masing. Pihak kapal menyediakan makanan lengkap: takjil, berbagai minuman, makanan utama, buah, dan snack.
Akan tetapi kami ingat bungkusan nasi Padang rasa Aceh tadi. Kami buka tas kresek warna putih. Kami buka nasi gulung dibungkus kertas putih. Kami cari rendangnya. Tidak ketemu. Istri bakikih mencari kikil. Juga tidak ketemu. Yang ada hanya bumbu rendang. Dan ayam goreng.
Saya mau rendang! Bukan hanya bumbunya!