Surat dari Nanjing

Surat dari Nanjing
Dahlan Iskan.

jpnn.com - Setelah diskusi dengan mahasiswa seperti Khairul Anwar saya kepikiran. Sepanjang malam. Akan jadi apakah anak seperti itu kelak?

Penampilannya sederhana. Tapi begitu bicara terlihat sangat antusias. Matanya berbinar. Jalan pikirannya runtut.

Keinginannya jelas: jadi pengusaha. Dan karena itu memilih kuliah di jurusan bisnis. Di Nanjing, Tiongkok.

Latar belakangnya pondok pesantren: alumni Darul Hijrah Martapura, Kalsel. Bisa bahasa Arab, Inggris dan sekarang bisa Mandarin.

Pembawaanya supel. Mudah bergaul. Dia suka menyanyi. Bisa main gitar.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Sebagai modal hidup sosok seperti itu harusnya cukup. Seperti jadi jaminan masa depannya cerah. Dengan sekolah di pondok pesantren seperti Darul Hijrah pembentukan karakternya kuat: disiplin tinggi, tawadhuk, rendah hati, militan dan peduli akan hal-hal detil. Hal-hal kecil.

Dengan penguasaan tiga bahasa asing jendela dunianya lebar. Apalagi bisa bahasa Mandarin yang begitu sulit. Yang kelak ketika Khairul berumur 32 tahun, Tiongkok sudah jadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News