Surat dari Nanjing

Surat dari Nanjing
Dahlan Iskan.

Dia tinggal memerlukan satu lagi. Kali ini bukan pendidikan. Tapi pengalaman hidup. Khususnya hidup menderita.

Dia baru lulus penderitaan tingkat pertama: disiplinnya hidup di pondok pesantren. Harus bangun malam. Tidur sebentar harus bangun lagi. Salat subuh. Ketahuan berbahasa Indonesia dihukum. Harus selalu bicara bahasa Arab atau Inggris di lingkungan pondok.

Kini Khairul hidup menderita lagi. Kali ini tidak ada pengurus pondok yang mengawasi. Tidak ada orang tua yang menegur.

Semua disiplinnya datang dari dirinya sendiri. Di negara yang sistemnya komunis. Yang bahasanya aneh. Yang makanannya banyak yang dia haramkan. Yang di musim panas paha dan dada wanita berseliweran. Yang pacarnya kirim WA: minta putus. Akan kawin dengan pria lain di kampungnya. Kelamaan menunggu Khairul pulang. Tidak ada pelabuban Teluk Bayur di Sampit.

Saya berdoa keras mahasiswa seperti dia akan sukses di kehidupannya kelak. Bisa lebih sukses dari laki-laki yang menikahi pacarnya. Atau, seperti yang dia tulis di Facebook-nya, lebih sukses dari saya.

Lihatlah tulisannya. Saya kutipkan di bawah ini. Yang dia beri judul Dua Jam Bersama Dahlan Iskan. Yang kalimat pertamanya angka-angka:

17-04-2018. Ketika kelas sedang berlangsung. Notifikasi grup WeChat saya berdering dengan kalimat, “Bisakah saya dapat nomor mahasiswa Indonesia di Nanjing yang bisa diajak makan, siang ini?”.

Kalimat yang disampaikan Ko (abang) Andre So (Koordinator Yayasan Indonesia Tionghoa Culture Centre/ITCC) itu, dari Pak Dahlan Iskan.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News