Surat dari Nanjing

Surat dari Nanjing
Dahlan Iskan.

Senyum kami membesar. Mata kami berbinar ketika ketemu dengan orang hebat yang kami kagumi. Bagaimana tidak, dari mahasiswa Indonesia di Nanjing yang kurang lebih 600 orang, hanya 5 orang yang beruntung bisa bertemu dengan beliau dalam jangka waktu kurang lebih 2 jam.

Usai berjabat tangan, berbincang ringan, ternyata beliau sungguh humble. Sebagai orang hebat, betapa rendah hatinya beliau ketika mengobrol.

Saat kami makan bersama, beliau selalu mengingatkan kami memakan sayur dan beliau yang mengambilkan dengan sumpit beliau sendiri.

Dengan spontanitas ketika dalam pembicaraan. Beliau bertanya ke kami satu per satu. Seperti sudah kenal. Bahkan seperti antara ayah dan anak. Kami jadi merasa nyaman dengan beliau.

Pak Dahlan bertanya tentang saudara kami dan dari mana kami berasal. Contohnya anak-anak dari Sidoarjo. Yang berjumlah 3 orang. Nita, Dinda dan Desi.

Ada lagi yang dari kota beliau, Fattya dari Kalimantan Timur. Saya satu-satunya laki-laki yang ikut dalam acara lunch ini.

Oh ya, saya Khairul Anwar. Dipanggil Irul. Lulusan pondok pesantren di Martapura, Darul Hijrah. Fattya dari Sampit.

Saya kaget ketika Pak Dahlan bisa bicara bahasa Arab dan saya pun menyambut bahasa beliau. Tak lama, beliau cerita dulu sering ke Sampit.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News