Surat Papa

Oleh: Dahlan Iskan

Surat Papa
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Kepala Kate disandarkan ke pojok peti itu. Tangan kanannya membelai pipi sang ayah. Meraba bibirnya. Menyentuh hidungnya. Mengusap telinganya. Saya berlinang menyaksikan itu.

Maka Kate sering tidak ikut menyambut pelayat. Mereka datang langsung menuju peti jenazah, berdiri tegak, membungkuk, memberi hormat, lalu berdoa menurut agama masing-masing.

Dalam adat Tionghoa biasanya keluarga yang berduka berdiri berjajar menerima penghormatan tamu di dekat peti itu. Kate lebih memilih sibuk bercengkerama dengan papanya di dalam peti mati.

Keluarga Alvin Lim memang tidak terlalu pegang adat Tionghoa. Keluarga ini sudah lebih Kristen. Salib besar, terbuat dari bunga, dipajang gagah di dinding atas kepala Alvin.

Phio sesekali juga seperti Kate. Duduk di pojok atas kanan peti jenazah. Posisi kepalanya juga seperti Kate. Tangannnya juga meraba wajah Alvin. Kadang keduanya melakukan itu bergantian. Kadang bersamaan.

Saya ikut di situ. Sebentar. Di antara kepala Phio dan Kate. Dengan begitu saya bisa mengajukan beberapa pertanyaan.

Kate ternyata tahu semua cerita masa bayinya. Yakni ketika dia "diculik" papanya di usia satu tahun. Lalu ketika papanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penculikan. Dia tahu diasuh nai-nai-nya (ibunda Alvin), ketika Alvin di dalam penjara.

Kate mendapat semua cerita itu dari Alvin. "Papa sering bercerita soal masa bayi saya," ujar Kate.

Di dekat kepala papanya itu Kate lagi akan menulis surat. Yakni surat untuk papanya, Alvin Lim. Surat itu akan dimasukkan peti sebelum peti ditutup mati.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News