Surat Undangan Wagub Sumut Kontroversial
“Jadi untuk saat ini perannya (Tengku Erry,red) ada dua. Selaku wagub dan wagub sebagai plt gubernur. Nanti kalau mas Gatot sudah menjadi terdakwa, baru kemudian dilakukan pemberhentian sementara (terhadap Gatot,red). Nah posisinya berubah, menulisnya bukan wagub selaku pelaksana tugas. Tapi langsung plt, jadi kata wakilnya hilang,” ujarnya.
Nantinya ketika putusan hukum Gatot berkekuatan hukum tetap, barulah kata Plt pada jabatan Tengku Erry, kata Sumarsono dihilangkan. Dengan demikian posisinya selaku gubernur definitif menjadi full. Artinya, Tengku Erry boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kebijakan gubernur sebelumnya tanpa izin dari Mendagri.
Saat ditanya apakah dengan posisi saat ini Tengku Erry masih harus tetap berkomunikasi dengan Gatot yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan penyuapan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumarsono mengatakan iya. Hanya saja teknisnya tidak harus berkomunikasi setiap saat. Tapi dapat dilakukan secara berkala lewat surat menyurat.
“Dia (Tengku Erry,red) memang wajib apa yang telah dilakukan dilaporkan secara tertulis pada Gubernur (Gatot,red). Ini untuk menjaga silaturahmi dan etika pemerintahan. Sehingga Gatot mengetahui apa yang sedang berkembang. Jadi selalu ada laporan apa itu seminggu atau sebulan. Sifatnya dapat dilakukan secara berkala,” ujar Sumarsono.(gir/jpnn)
JAKARTA – Surat undangan yang disebar Wakil Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi untuk peringatan HUT RI ke-70, menuai polemik. Pasalnya dalam
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Pertamina Patra Niaga Uji Penggunaan Bioethanol E10 Bersama Toyota dan TRAC
- Polisi yang Ditembak Mati Rekan Sendiri Dapat Kenaikan Pangkat Anumerta dari Kapolri
- Sekte Indonesia Emas Dideklarasikan Untuk Mewujudkan Perubahan Sosial
- PFM Tegaskan Ada 15 Kementerian dan 28 Badan Teknis yang Perlu Diawasi
- Unilever Sebut Inklusi, Kesetaraan, dan Keragaman Kunci Bisnis Berkelanjutan
- Kapolri Ajak Pemuda Muhammadiyah Berantas Judi Online & Polarisasi Pilkada Serentak