Surat untuk Mahkamah Konstitusi
Jumat, 11 Juni 2010 – 00:12 WIB
MAHKAMAH Konstitusi kini tekun menyidangkan berbagai sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari daerah. Berkas, bukti dan keterangan saksi akan dipelototi. Lalu, tok-tok-tok. Perkara diputus hanya dengan mendengar seluruh keterangan yang terdengar di ruangan yang terbatas itu. Salah satu contohnya adalah pesta pernikahan yang beragama Kristen tak sungkan didatangi pemeluk Muslim. Di sebelah rumah pesta selalu disediakan spesial untuk tamu Muslim. Parsubang namanya. Tak ada makanan yang “haram” bagi Muslim di rumah “parsubang” itu.
Tak hendak menggurui limau berduri. Saya ingin berkisah tentang amuk ribuan orang yang merusak tiga dari empat kantor camat dan beberapa kantor kelurahan di Sibolga (Sumatera Utara), dua hari setelah Pilkada 12 Mei lalu. Saya merasa sengketa Pilkada Kota Sibolga itu punya hubungan kausal dengan amuk massa tersebut.
Baca Juga:
Amuk massa itu sesungguhnya telah menyempal dari sejarah kota di pantai barat Sumatera Utara itu. Kota itu dulu terbentuk dengan proses akulturasi sehingga didiami berbilang etnik, agama dan turunan yang datang dari tanah Batak, Minang dan Aceh dan belakangan etnik Tionghoa, Nias, Melayu dan lainnya sejak dulu dikenal rukun dan damai.
Baca Juga: