Suro

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Suro
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Di keraton Surakarta peringatan 1 Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana.

Pada awal 1970-an Sinuhun Paku Buwono XII mulai mengadakan kirab pusaka di luar tembok keraton.

Salah satu pusaka yang paling banyak ditunggu publik adalah kemunculan kebo bule bernama Kiai Slamet, yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa.

Kebo bule bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II.

Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kiai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kiai Slamet.

Dalam kirab satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.

Berbeda dari Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan. Karena itu, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya.

Tradisi malam satu Suro berawal di era Sultan Agung. Ketika itu, masyarakat masih mengikuti sistem penanggalan warisan tradisi Hindu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News