Suro

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Suro
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Tradisi ini kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam tradisi Hindu dan Buddha.

Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengelilingi benteng sesuai arah jarum jam. Sedangkan prasawya adalah ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam.

Jika orang berjalan dengan menggunakan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan menggunakan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup batiniah.

Ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut satu Suro. Namun, umumnya melakukan laku prihatin, misalnya tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling berarti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Ritual ini menjadi bagian dari praktik sufisme Jawa yang merupakan paduan dari tradisi Islam dan Hindu-Budha.

Almarhum Prof. Simuh dalam ‘’Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa’’ (2019) menegaskan bahwa mistisisme Jawa ini berakar pada tradisi tasawuf Islam.

Tradisi malam satu Suro berawal di era Sultan Agung. Ketika itu, masyarakat masih mengikuti sistem penanggalan warisan tradisi Hindu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News