Suro

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Suro
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Inti ajaran tasawuf adalah distansi, menjaga jarak dari nafsu urusan duniawi, konsentrasi atau memusatkan pikiran untuk berzikir pada Allah, serta menjadi insan kamil, yaitu puncak proses untuk menjadi manusia sempurna karena kedekatan dengan Allah.

Di Indonesia perkembangan tasawuf tidak selalu mulus, karena selalu mendapat penentangan dari kalangan Islam rasional.

Dalam sejarah perkembangan Islam di Arabia, hal yang sama juga terjadi ketika kelompok rasional yang bertumpu pada filsafat bertentangan dengan kalangan kelompok syariah.

Para filsuf Islam seperti Ibnu Rusydi, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina dianggap sebagai penganjur ajaran yang tidak sesuai dengan syariah. Imam Al-Ghazali mengecam keras para penganut filsafat dan menyebut pikiran mereka rancu (tahafut) dan menyesatkan kepada kekafiran.

Perbedaan pendapat Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi menjadi legenda dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, setelah Ibnu Rusydi mengecam balik Al-Ghazali dengan menyebut rancu dalam menuduhkan kerancuan (tahafut-al tahafut).

Al Ghazali, ahli syariat dan teolog, menyusun landasan yang menyediakan ruang bagi perpaduan Islam dan mistisisme melalui buku magnum opus Ihya’ Ulumuddin.

Al-Ghazali menegaskan bahwa Islam dan tasawuf seharusnya bisa saling mendukung dan menguatkan, bukannya saling menjatuhkan.

Keberadaan sufisme Jawa bisa dilacak sejak Islam masuk ke Jawa abad ke-15. Islam masuk melalui pedagang Gujarat lewat wilayah-wilayah pesisir Utara Jawa seperti Gresik, Tuban, dan Jepara.

Tradisi malam satu Suro berawal di era Sultan Agung. Ketika itu, masyarakat masih mengikuti sistem penanggalan warisan tradisi Hindu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News