Sustain Sebut Peningkatan Pungutan Batu Bara Bisa Dialokasikan untuk Transisi Energi

Tata menilai peningkatan pungutan produksi batu bara bisa diterapkan secara progresif dengan mengikuti fluktuasi harga pasar batu bara.
Selain itu, dapat dipungut melalui mekanisme lain seperti pajak, royalti, dan lainnya.
“Kebijakan ini juga dapat menjadi sinyal bagi kepemimpinan Indonesia di dunia internasional di antara negara-negara selatan dan utara untuk mendorong transisi energi,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif dan Anggota Dewan Ekonomi Nasional Septian Hario Seto mengatakan pungutan batu bara sudah sempat dilakukan di Indonesia melalui windfall profit tax dan royalti.
Oeh karena itu, pendapatan negara dari royalti batu bara dua tahun terakhir tergolong besar.
“Total pada 2022 sekitar Rp 170 triliun, melebihi migas (minyak dan gas bumi). Pada 2023 sebesar Rp168 triliun,” katanya menerangkan.
Namun, dia mengungkapkan, beberapa tambang batu bara memiliki masa tambang kurang dari 10 tahun, terutama untuk pertambangan dengan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK). Sehingga pendapatan royalti negara bisa jadi tidak akan bertahan lama.
“Kita kemungkinan akan kehilangan produksi batu bara sebesar 200 juta ton. Karena di tahun 2035 (sumber daya batu bara) akan habis, tidak ekonomis lagi untuk menambang dengan struktur royalti yang ada untuk IUPK,” kata Septian.
Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia atau SUSTAIN menyatakan bahwa opsi peningkatan pungutan produksi batu bara bisa digunakan untuk transisi energi
- Waka MPR Eddy Soeparno Tekankan Transisi Harus Menguatkan Ketahanan Energi Nasional
- Terima Aspirasi IOJI, Wakil Ketua MPR Komitmen Perjuangkan Konstitusi Pro Lingkungan
- Australia & Indonesia Siapkan Anggaran Rp 40 Miliar untuk Riset Transisi Energi Berkelanjutan
- ASPEBINDO Usulkan Perbaikan Kebijakan Penetapan Harga Batu Bara Acuan Dalam Transaksi Ekspor
- Eddy Soeparno: Akselerasi Transisi Energi Dukung Target Ekonomi 8 Persen Tercapai
- ExxonMobil Jadi Mitra Strategis Industri Pertambangan