Syukuran Arab Hays
Oleh Dahlan Iskan
Setelah itu barulah persiapan makan malam. Kambing bergumpal-gumpal diangkat dari drum. Tidak ada lagi kuahnya. Setengah kering.
Saat ketemu anak muda itu hari-hari berikutnya saya bertanya: dapat daging kambing dari mana. Di supermarket tidak dijual. Di Walmart tidak ada.
”Saya beli kambing hidup,” ujar Faris, anak muda vacuum cleaner itu, imam yg heboh itu. ”Saya sembelih sendiri,” tambahnya.
Usai angkat gumpalan daging dari drumnya dibuka pula oven besar di sebelahnya: isinya panci. Penuh nasi briani. Yang ada taburan bumbu di atasnya. Termasuk taburan cengkeh.
Panas. Mengebul uap panasnya. Menyebar aromanya. Dituanglah nasi itu. Ke tampah alumunium bundar. Gumpalan kambingnya ditumpuk di atas nasi briani.
Kami pun, 20 orang, melingkari nasi kambing itu. Dua lingkaran. Semua tangan menyerbu si kambing.
Tidak asing bagi saya. Sudah sering pesan nasi model begituan. Kalau lagi ada tamu khusus. Praktis hampir pukul 12 malam baru mulai makan. Benar-benar kebiasaan orang di Arab. Makan malamnya jam segitu.
Saya mencicipi beberapa cuil kambing. Dan beberapa puluk nasi briani. Puluk adalah satuan untuk nasi yang mampu digenggam oleh lima ujung jari sebelum dimasukkan ke mulut. Maafkan atas definisi asal jadi itu.