Tahun Komitmen

Oleh: Dahlan Iskan

Tahun Komitmen
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ibu sudah lama meninggal. Sawah sejengkal sudah terjual. Meja, kursi, dipan, lemari sudah jadi nasi. Tikar mendong sudah bolong-bolong.

Kakak harus pergi. Tak terkirakan jauhnya –untuk ukuran saat itu.

Ayah tahu: anak wanitanya itu harus pergi.

Saya tidak tahu –kecuali setelah dewasa: saat itu kakak lagi patah hati yang sangat berat. Calon suami pilihannyi dilarang menikahinyi: masih sepupu.

Dia memilih pergi –dengan tekad tidak akan pernah kembali. Dia tinggalkan gajinyi untuk kami –lewat surat kuasa untuk mengambil gaji. Dia sudah siap menderita di rantau –daripada hancur di kampungnyi.

Pada jam keberangkatannyi seluruh keluarga, tetangga, kerabat berkumpul di halaman.

Mereka menangis-nangis. Terutama ketika sado yang menjemputnyi tiba.

Untuk membawanyi ke kota –dari Kota Madiun akan naik kereta api ke Surabaya, lalu naik kapal laut ke Samarinda. Pak kusir membantu kakak saya menaiki sadonya.

Saya mencoba berlatih dengan cara yang keras: mengikatkan diri pada beberapa komitmen. Ada yang besar, ada yang kecil.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News