Tak Diawasi, Malah jadi Alat Intimidasi Petugas

Tak Diawasi, Malah jadi Alat Intimidasi Petugas
AHLI - Reza Indragiri Amriel MCrim (Forpsych), Ketua Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara dan pengajar PTIK yang menekuni ilmu psikologi forensik termasuk pemeriksa kebohongan. Foto: Ridlwan/Jawa Pos.
Menurut Reza, perangkat lie detector disebut polygraph dan bekerja seperti mesin pencatat data. "Di negara-negara maju, mesin dan ilmu itu sudah dibisniskan, terutama di perusahaan-perusahaan besar," katanya.

Namun, alat tersebut tidak berarti bisa mendeteksi sepenuhnya seseorang apakah dia menipu atau berkata jujur. "Orang sering salah tafsir. Sebenarnya, yang dideteksi itu adalah perubahan fisiologis tubuh yang dalam derajat tertentu diartikan sebagai indikasi kebohongan," jelasnya.

Alumnus Psikologi UGM itu menjelaskan, sebelum dites kebohongan, seseorang akan menjalani pengecekan detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan dan aktivitas elektro-dermal dalam tingkat normal. Setidaknya, ada tiga sensor yang akan dipasang pada seseorang yang diperiksa. Pertama berupa sensor respiratory rate atau pneumographs. "Seperti tabung karet yang berisi udara dipasang di area perut dan dada kiri tempat jantung," jelasnya.

Ketika dada atau otot-otot perut mengembang, udara di dalam tabung dipindahkan dalam bentuk grafik pada layar. Tanda itu akan bergulir jika subjek mengambil napas. Lalu, sensor tekanan darah yang dipasang di sekitar nadi lengan, fungsinya untuk mengukur tekanan darah.

Lie detector (alat pendeteksi kebohongan) sempat disinggung Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri di depan Komisi III DPR ketika menjelaskan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News