Tak Diawasi, Malah jadi Alat Intimidasi Petugas
Rabu, 11 November 2009 – 04:05 WIB
Karena itu, di negara-negara maju, sebagian aktivis psikologi forensik justru mendirikan komunitas anti-polygraph. "Di Amerika misalnya, mereka mengkritik soal interogasi terhadap tersangka terorisme yang dipaksakan tanpa pengawasan," ungkapnya.
Penggunaan polygraph juga sangat bergantung pada subjektivitas pemeriksa. "Apalagi jika subjek yang diperiksa berada dalam ancaman. Misalnya, ruangan yang tidak nyaman atau pemeriksaan malam hingga dini hari. Akibatnya, tubuh lelah, otomatis data fisiologis juga berubah. Mau jujur pun, kondisi tubuhnya berubah," tuturnya.
Tingkat kesalahan mesin itu, kata Reza, dibagi dua jenis. Yang pertama adalah false negatif. Yakni, orang yang tidak bersalah diperiksa polygraph, dia gagal atau divonis bohong. Kedua, false positif. Yakni, orang yang bersalah diperiksa polygraph, dia berhasil mengelabui atau divonis jujur.
"Tingkat false negatif 40-50 persen, sedangkan false positif 10-20 persen. Itu berarti lebih banyak orang jujur yang divonis bohong oleh mesin itu," tegasnya.
Lie detector (alat pendeteksi kebohongan) sempat disinggung Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri di depan Komisi III DPR ketika menjelaskan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408