Tak Keberatan Dijuluki si Pembawa Kabar Bencana

Tak Keberatan Dijuluki si Pembawa Kabar Bencana
Sutopo Purwo Nugroho di ruang kerjanya, Kantor BNPB, Jakarta, Rabu (18/12). Foto: Ricardo/JPNN

Sulitkah bekerja hampir serupa dengan wartawan?

Sebenarnya saya bisa juga jadi wartawan. Wong sama-sama ngetik berita juga. Contoh kalau Presiden jumpa pers soal bencana, saya juga ikut ngetik di BB. Presiden selesai ngomong, saya juga udah selesai, langsung buat berita dan dikirim. Padahal ada wartawan juga di situ. Begitu saya kirim Broadcast Message, saya lihat wartawan di sekitar saya langsung pada buka BBnya. Pada kaget, lah Pak Topo kok sudah jadi beritanya'. Efektif memang. Makanya saya punya dua handphone. Satu untuk wartawan, satu untuk umum dari BPBD, tentara polisi. Ini penting untuk kecepatan informasi. BB saya itu pernah kontaknya lebih dari 1800 orang. Itu sampai 'ngehang' rusak karena banyak yang tanya soal bencana. Ganti lagi. Saya itu paling stres kalau sampai kehilangan kontak pin BB wartawan. Karena ngumpulin, nyarinya juga susah. Sekarang 1304 kontak BBM saya yang wartawan. Dulu waktu BB saya rusak, sedih saya, banyak kontak BBM yang hilang. Teman wartawan saya dalam dan luar negeri. Washington Post, CNN, Aljazerra. Mereka selalu komunikasi juga, konfirmasi bencana.

 Saya ajarkan ke teman-teman humas yang lain, pakai teknologi ini. Efektif sekali. Tapi sulit, jarang mereka. Enggak semua mau capek, karena harus siap semua. Klien saya kan wartawan semua. Kalau ada kejadian enggak saya segera broadcastkan wartawan pasti tanya terus. Capek kalau layani satu-satu. Broadcast terus data-datanya biar semua dapat saja.

Bagaimana cara Anda bisa menulis berita?

Saya itu kalau ada bencana, kalau kecepatannya kadang saya dapat informasi justru dari wartawan. Contoh, banjir bandang di Aceh. Nah setelah itu saya langsung minta posko kami hubungi TNI, Polri untuk koordinasi. Setelah dapat data juga lengkap saya langsung buat berita. Saya ngajari staf saya menulis berita, tapi sulit mereka. Jadi saya nulis dan hitung sendiri. Mereka tidak terbiasa nulis. Kalau saya kebetulan hobi menulis jadi bisa menjawab. Saya belajar nulis sendiri dan dapat masukan dari teman-teman wartawan.

Dulu saya sering kirim ke koran tulisan saya waktu di BPPT. Waktu itu saya sudah nulis soal banjir ibukota. Sulit dulu diterima di koran. Setelah usaha terus akhirnya terbit. Itu senangnya bukan main. Saya diberi saran sama teman wartawan, judul beritanya singkat saja, biasanya pakai angka. Lalu ada nama korban, umur dan jenis kelamin. Kalau bisa ada juga nomor kepala BPBD yang bisa dihubungi.

Jadi saya enggak diajarin khusus, saya hanya diberi saran karena kebetulan saya sering menulis dan suka baca berita juga jadi belajar sendiri menulis berita. Setiap akhir tahun saya broadcast kecil-kecilan pada wartawaan, survei. Apa informasi yang saya berikan bermanfaat,apa saran kritik untuk humas BNPB?. Itu selalu saya tanyakan akhir tahun. Saya juga pesan ke BPBD wartawan akan hubungi. Harus siap, dan siap jadi terkenal ditelepon terus.

Orang-orang kadang membayangkan saya punya tim besar untuk menulis berita. Tidak. Saya punya staf hanya enam. Saya kaderkan staf saya, tapi kan tergantung kemauan mereka. Kemauan kapan pun melayani wartawan setiap saat. Kan tidak semua orang mau.

SUTOPO Purwo Nugroho. Setiap kali ada bencana, nama Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News