Tak Lazim, Larang Quick Count
jpnn.com - JAKARTA – Sidang pengujian UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (6/3). Perkara Nomor 9/PUU-VII/2009 ini diajukan oleh Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny Yanuar Ali.
Dalam sidang itu, Denny yang diwakili Kuasa Hukumnya Andi M. Asrun dan Bachtiar Sitanggang mengajukan beberapa argumen terkait pelarangan publikasi perhitungan cepat (quick count) di hari pencontrengan pemilu, 9 April 2009 nanti. Beberapa hal yang dimaksud, di antaranya pelarangan itu bertentangan dengan esensi quick count serta tidak sesuai dengan peradaban ilmu dan teknologi yang sedang berkembang. Bahkan, pelarangan itu oleh pemohon dianggap sebagai sebuah ketidaklaziman di negara demokrasi, seperti di Indonesia.
''Pemilu merupakan hari besar bagi seluruh lembaga survei di seluruh dunia, karena pada hari itu lembaga survei dan media massa mengumumkan hasil pemilu,'' kata Andi M. Asrun.
Di luar negeri saja, jelas Andi, quick count merupakan hal biasa. Tapi, di Indonesia malah berbalik 180 derajat. Artinya, apabila hal tersebut dilakukan, maka akan mendapat hukuman penjara karena dianggap telah melakukan tindakan kriminal.
Hal ini untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah asosiasi mempertahankan kebebasan akademik karena merasa dibatasi oleh undang-undang. Karenanya, dia berharap sebelum tanggal 9 April sudah ada keputusan dari MK, apakah negeri ini akan mengikuti demokrasi semua negara di dunia dengan memperbolehkan quick count atau sebaliknya.
Ada kemungkinan tidak parpol lebih condong percaya hasil quick count ? Andi menjelaskan, hasil quick count itu hanyalah proyeksi. Dimana, semua pihak tahu bahwa ini bukan hasil resmi, seperti halnya ketika Pilkada, semua murni yang bersifat ilmiah.
Sesuai permohonan awal, pemohon AROPI meminta MK untuk membatalkan pemberlakuan Pasal 245 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UU Pemilu terkait pembatasan waktu dikeluarkannya hasil perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2009 nanti. Namun, belakangan pemohon memperbaiki petitumnya dengan meminta MK membatalkan pemberlakuan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), kemudian Pasal 282 serta Pasal 307 UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
''Kami sangat berharap kepada hakim konstitusi untuk mengabulkan permohonan kami. Karena bagaimanapun, ini menyangkut hajat orang banyak (publik),'' ujarnya.(sid/JPNN)
JAKARTA – Sidang pengujian UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (6/3). Perkara
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Jaksa Agung ST Burhanuddin Soal Jaksa yang Terlibat Judol Hanya Iseng-Iseng, Astaga!
- Pordasi Era Kepemimpinan Aryo Djojohadikusumo Siap Kirim Atlet ke Olimpiade LA 2028
- Menteri Hukum Lantik Widodo Jadi Dirjen AHU, Tekankan Supremasi Hukum yang Transparan
- Mendes Yandri dan Mensos Gus Ipul Teken MoU, Siap Berkolaborasi Entaskan Kemiskinan
- Trisya Suherman: Lukisan Go Green Taruparwa Bisa jadi Penyemangat Para CEO
- Seniman Papua Bawa Pesan Ekologis di Jakarta Biennale 2024