Tak Mimpi Jadi Kapolri
Jumat, 02 April 2010 – 03:29 WIB
Saya ini tidak akan jadi apa-apa lagi. Sekarang, saya sudah enak karena bisa istirahat, bisa nonton tivi, bisa nimang cucu, bisa keliling jadi pembicara. Saya diundang kemana-mana berbicara soal pemilihan kepala daerah, materinya tentang pencegahan tindak kecurangan dan korupsi. Saya berbicara di Gorontalo, berbicara di Bengkulu, di Bandung, di Asuransi Taspen. Saya senang karena merasakan kembali suasana ngajar saat di Sespim.
Masih Dongkol gajinya dipangkas?
Iya, saya katakan, inilah penghargaan negara kepada saya. Gaji dipotong dari Rp11 jutaan menjadi Rp4 jutaan. Tapi ndak apa-apa, pemasukan masih ada. Saya masih ada pekerjaan lain. Halal, bayar pajak, bayar zakat 2,5 persen. Kalau tidak ada usaha lain, mana bisa saya beli rumah. Kalau ada orang rumah bagus, tapi tidak ada usaha lain berarti dia korupsi. Saya tidak korupsi. Usaha itu bidang perdagangan. Berkantor pusat di Jakarta. Cabangnya antara lain di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Tapi ndak usah disebut usaha apa, nanti dilarang polisi, hahaha...
Memang keluarga kami diajari bekerja keras oleh orang tua (ayah Duadji, ibu Siti Atmah). Saya anak kedua dari delapan bersaudara. Bapak saya seorang sopir, ai salah.. bilang saja, pilot Cevrolet, sejak tahun 1970-an. Memang cari duit dengan peras keringat. Sekarang, ayah dan ibu sudah meninggal semua. Tapi, keluarga di Tebat Agung, Pagar Alam masih banyak. Sekarang malah saya bisa pulang kampung setiap mau. Kalau dulu gak bisa sembarang pulang karena tugas. Sekarang kantor tak ada.