Tak Tahu Kapan Lahir, Bingung saat Isi Kolom Agama

Tak Tahu Kapan Lahir, Bingung saat Isi Kolom Agama
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Prof Zudan Arif Fakrulloh saat penyerahan dokumen penduduk masyarakat Baduy. Foto: Juneka/Jawa Pos

Senyum Sarpin tetap berkembang saat melanjutkan ceritanya. Dia secara tidak langsung mengakui pendataan umur sekadar seingatnya itu memang tidak sepenuhnya tepat. Pada saat perekaman e-KTP, ada pemuda yang tercatat berusia 15 tahun, tapi sudah berjenggot. ”Lahir 2002, tapi jenggotan,” ujarnya.

Begitu pula soal nama. Sebenarnya sederhana bagi orang Baduy. Sebagaian besar nama orang Baduy hanya satu kata dan mudah diucapkan. Saat mereka sudah punya anak, biasanya seorang lelaki dipanggil nama anak pertama.

Misalnya, seorang punya anak Karmain, sang bapak dipanggil Ayah Karmain. Sedangkan ibu disapa Ambu Karmain. Nah, karena sapaan itu sudah menjadi sebutan, terkadang mereka kebingungan untuk menentukan nama yang dicantumkan di e-KTP. Tak mengherankan kalau di Baduy ada banyak sekali yang dipanggil ayah. ”Ada yang tetap pakai nama sapaan di e-KTP, bukan nama asli dari lahir. Seperti Ayah Karmain,” ungkap Sarpin.

Ayah Karmain adalah salah seorang warga Baduy Dalam yang telah memiliki e-KTP hasil perekaman sebelumnya. Dia menuturkan sudah 15 kali bepergian hingga ke Jakarta. Dengan fasih dia menyebut Monumen Nasional, Dunia Fantasi, dan Halim sebagai sebagai tempat-tempat yang pernah dikunjungi di ibu kota.

”Sangat butuh KTP karena silaturahmi ke pejabat ditanya identitas saat masuk rumah. Dan, kalau di jalan ada musibah, identitas jelas,” kata pria yang tinggal di Kampung Cibeo yang termasuk Baduy Dalam itu.

Kartu e-KTP milik Ayah Karmain dimasukkan ke dalam tempat untuk menaruh identitas bagi karyawan kantor pada umumnya dengan tali warna merah. Awalnya dia agak ragu menunjukkan e-KTP tersebut. Tapi, akhirnya dia mengambilnya dari tas jarog dari anyaman kulit pohon. Agaknya yang menjadi persoalan adalah kolom agama yang tidak diisi.

Ayah Karmain menjelaskan dengan sangat tegas bahwa dia memang sengaja meminta kolom agama itu dikosongi. Bukan karena dia tidak beragama. Tapi, bila toh ditulis, dia meminta agar ditulisi Selam Sunda Wiwitan. ’’Karena ini sudah keyakinan leluhur kami Selam Sunda Wiwitan. Bukan agama lain seperti Islam,’’ katanya.

Ayah Mursyid, salah seorang tokoh Baduy Dalam, menuturkan, memang ada keputusan dari para tetua adat Baduy agar mengakomodasi Selam Sunda Wiwitan sebagai agama. ’’Kalau memang belum bisa, dikosongkan saja. Kalau bisa, ya Selam Sunda Wiwitan,’’ ujar pria yang punya nama lahir Halim itu.

Partisipasi masyarakat Baduy di Kanekes dalam perekaman data e-KTP memang termasuk yang paling rendah. Ada pemicu yang berupa latar belakang budaya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News