Tarif Interkoneksi Bebani Pelanggan di Daerah
jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah akademisi dan praktisi telekomunikasi di daerah menilai tarif interkoneksi sudah tidak relevan lagi menjadi beban dari pelanggan.
Karena itu, penurunan tarif interkoneksi menjadi tren yang tidak bisa dihindari.
“Dengan beralihnya sistem komunikasi dari switching base ke internet protocol (IP) base, maka tarif interkoneksi sudah tidak relevan menjadi beban terhadap pelanggan. Penurunan tarif interkoneksi itu sudah sejalan dengan perkembangan telekomunikasi dewasa ini,” kata Ketua Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia (KTI) Hidayat Nahwi Rasul kepada wartawan, Selasa (21/3).
Dengan kondisi seperti itu, menurut dia, sudah bukan lagi zamannya operator menggantungkan pendapatan dari tarif interkoneksi.
Pendapatan operator seharusnya terfokus pada data atau kuota.
Pihak operator jika masih mengandalkan pada pendapatan interkoneksi sudah tidak relevan lagi melihat perkembangan teknologi informasi yang sudah berbasis persaingan antara pemain.
Hidayat menjelaskan infrastruktur jaringan bandwith hingga kecepatan upload dan download akan menjadi magnet persaingan antar operator seluler di Indonesia.
Perlu disadari, pada 2016 penetrasi smartphone mencapai 100 juta orang, sehingga pola komunikasi sudah berubah karena majunya teknologi informasi dengan berbagai aplikasi seperti Whatsapp (WA) yang saat ini juga menawarkan video streaming selain voice.
Sejumlah akademisi dan praktisi telekomunikasi di daerah menilai tarif interkoneksi sudah tidak relevan lagi menjadi beban dari pelanggan.
- 16 Tahun Melayani Industri Telekomunikasi, Mitratel Siap Terbang Lebih Tinggi
- TBIG Dukung Ribuan Siswa SMK Tingkatkan Daya Saing di Sektor Telekomunikasi
- Paruh Pertama 2024, Indosat Meraup Laba Bersih Rp 2,7 Triliun
- Comtelindo Realisasikan Komitmen Hadirkan Konektivitas Andal di IKN
- PLN Icon Plus Pastikan Penyediaan Jaringan Fiber Optik di IKN Sudah Capai 90 Persen
- Keuntungan Indosat Sepanjang Tahun 2023 Capai Rp 2 Triliun