Tarik Dana dari Masyarakat, di Mana Transparansi MUI?
jpnn.com - JAKARTA - Komisi Informasi Pusat (KIP) mengingatkan bahwa semua organisasi yang mendapat dana dari pemerintag dan masyarakat memiliki kewajiban untuk membuka laporan keuangannya. Tidak terkecuali Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebagian sumber dananya berasal dari APBN. MUI juga menerima dana dari masyarakat melalui biaya sertifikasi halal yang kini merambah bukan saja untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika, tetapi juga semua barang dan jasa.
Ketua KIP RI, Abdulhamid Dipopramono mengatakan, Menurut UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, MUI adalah badan publik. Yang disebut badan publik bukan saja lembaga eksekutif, klegislatif, dan yudikatif, tetapi juga badan lain atau organisasi non pemerintah yang sebagaian atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Karna itu, MUI seharusnya menginformasikan program-program dan laporan keuangannya ke publik. "Badan publik tidak boleh menunggu diminta informasinya tapi harus proaktif mengumumkannya ke masyarakat," kata Abdulhamid melalui siaran pers, Minggu (27/3).
Sejauh ini, lanjut Abdulhamid, KIP menilai MUI tidak pernah mengumumkan program-program dan laporan keuangannya secara periodik ke masyarakat. Kondisi keuangan MUI, baik uang masuk dan keluarnya, tidak pernah diketahui publik. Sehingga wajar jika akhir-akhir ini sangat ramai dipertanyakan masyarakat.
Apalagi, kini MUI menyatakan ingin mensertifikasi semua sektor kehidupan manusia, tidak saja makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, tetapi juga barang dan jasa termasuk pakaian dan sepatu. Sedangkan untuk melakukan sertifikasi, MUI selama ini memungut dana dari produsen barang dan restoran sebagai obyek. Jika makin banyak obyek yang disertifikasi maka akan semakin banyak pula uang masuk ke MUI.
Abdulhamid mengatakan, uang yang masuk tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebab biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang disertifikasi pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai konsumen. Misalnya, suatu produk harus disertifikasi secara periodik dan produsen harus membayar, maka uang yang dibayar produsen tersebut pasti dimasukkan ke komponen biaya produksi, dan ujung-ujungnya menyebabkan harga jual produknya naik.
Terakhir, kata Abdulhamid, masyarakat harus mulai kritis dan berani mempertanyakan keuangan lembaga-lembaga non pemerintah seperti MUI dan lainnya. Selama ini yang dianggap badan publik hanya pemerintah yang terdiri eksekutif, legislatif, dan yudikatif saja, padahal banyak uang mengalir ke lembaga non pemerintah baik lewat APBN, APBD, dana masyarakat, dan/atau luar negeri.
"Masyarakat harus berani meminta informasi ke mereka dan jika tidak dilayani dengan baik bisa mengadukannya ke KIP untuk disidang," tukas Abdulhamid. (fat/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Berita Duka, Ketua Demokrat SBD Johanis Ngongo Ndeta Meninggal Dunia
- Priskhianto Ingin Gelar Munas Rekonsiliasi demi Perkuat Koperasi Indonesia
- Bantu Polda Bali, Kodam IX/Udayana Siapkan Prajurit TNI Hadapi Libur Nataru
- Perkembangan Terbaru Kasus Produksi Uang Palsu dari Kampus UIN Alauddin
- Putri Zulhas Singgung Pentingnya Kemandirian Pangan saat Workshop PAN
- Cuaca Ekstrem, Megawati Serukan kepada Pemerintah Siapkan Upaya Mitigasi Menghadapi Bencana