Tarsan Kota

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tarsan Kota
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Seniman Betawi Benyamin Sueb pernah membintangi film sinema Tarsan Kota pada 1974.

Film itu mengisahkan Tarsan, yang sejak kecil hidup di hutan dan diasuh oleh seekor gorila, kemudian bermigrasi ke kota besar dan hidup bersama manusia yang satu spesies dengannya.

Berbagai kekonyolan terjadi ketika Tarsan hidup bersama komunitas manusia. Nilai-nilai tradisional yang selama ini dijalani Tarsan sebagai manusia hutan harus ditinggalkannya, karena lingkungan modern tidak memungkinkannya mengadopsi cara hidup seperti di hutan.

Tarsan, misalnya, punya pantangan untuk tidak memakan daging hewan. Ketika tinggal di kota, Tarsan terpaksa harus makan daging, karena tidak mudah menjadi vegetarian di kota. Karena melanggar pantangan, Tarsan dikeroyok oleh teman-temannya sendiri seperti monyet, ayam, dan kambing.

Film komedi itu menceritakan konflik budaya tradisional dengan budaya modern dengan penuh senda gurau, meski dua nilai itu sering bertabrakan. Nilai-nilai budaya modern dianggap sebagai lebih maju dari budaya tradisional, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.

Budaya modern yang serbapraktis dan positivistik dengan bertumpu pada aturan hukum, menjadikan penyelesaian masalah hukum sering kaku dan malah tidak menghasilkan keadilan.

Sebuah aturan hukum dibuat semestinya untuk menghasilkan keadilan. Namun, dalam praktiknya bukan keadilan yang didapat, tetapi justru malah kerugian.

Masyarakat tradisional punya mekanisme tersendiri untuk mengatasi berbagai konflik di lingkungan mereka. Dalam banyak kasus, mekanisme masyarakat tradisional ini terbukti lebih efektif dan efisien dibanding mekanisme hukum yang diterapkan oleh masyarkat modern.

Jared Diamond menceritakan kisah Tarsan Kota versi Papua. Kali ini si Tarsan adalah seorang gadis bernama Sabine Kuegler

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News