Tarsan Kota

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tarsan Kota
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ketika kali terakhir dia meninggalkan Papua dia melihat orang-orang yang lebih gemuk dengan perut membuncit.

Itulah tanda kemakmuran, tetapi bukan kesejahteraan. Orang-orang yang sejahtera hidup dengan pikiran tenang dan kondisi fisik yang lebih bugar. Orang-orang yang makmur hidup dengan kebutuhan yang terpenuhi, tetapi badannya tidak sehat karena menimbun penyakit.

Menurut pengamatan Diamond, pada awal 1960-an tidak ada penyakit jantung, diabetes, atau ginjal di kalangan masyarakat tradisional Papua. Namun, memasuki milenium baru berbagai jenis penyakit modern bisa ditemui di lingkungan masyarakat tradisional Papua.

Usut punya usut, masyarakat tradisional Papua di masa lalu nyaris tidak pernah mengonsumsi gula dan garam. Sebagai masyarakat yang tinggal di pegunungan, garam sulit didapat kecuali dengan usaha pembuatan ekstra.

Gula juga termasuk barang mahal karena harus didatangkan dari wilayah yang jauh.

Diet orang-orang tradisional hanya terdiri dari umbi-umbian dan daging segar serta buah-buahan. Siapa pun yang mengonsumsi diet semacam ini dipastikan bisa terhindar dari penyakit degeneratif.

Namun, sejak orang-orang kulit putih lebih banyak masuk ke Papua dan mendirikan pabrik-pabrik industri dan memperkenalkan gaya hidup modern, orang-orang Papua ketularan gaya hidup modern, sekaligus ketularan berbagai penyakit yang dibawa oleh gaya hidup modern.

Salah satu--atau salah dua--makanan yang membawa banyak penyakit adalah gula dan garam. Segera setelah gula dan garam dikenal oleh masyarakat Papua pola makan mereka berubah. Makanan yang banyak mengandung garam dan gula menyebabkan berat badan meningkat dengan cepat.

Jared Diamond menceritakan kisah Tarsan Kota versi Papua. Kali ini si Tarsan adalah seorang gadis bernama Sabine Kuegler

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News