Tekanan Reshuffle, Jokowi Harus Berani Berkata Tidak
jpnn.com - JAKARTA - Berbagai tekanan politik agar segera dilakukan reshuffle kabinet, diharapkan menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan kualitas leadership-nya
CEO Saiful Mujani Research and Consulting Djayadi Hanan menegaskan, presiden tidak boleh meletakkan pertimbangan melakukan reshuffle hanya berdasar pada tekanan politik. Presiden, menurut dia, harus lebih mengedepankan kriteria-kriteria obyektif ketika memutuskan merombak kabinetnya.
Sekuat apapun tekanan politik, menurut dia, tetap tidak boleh menjadi pertimbangan utama ketika hendak menggeser atau mengganti para menterinya.
"Oke, presiden kita ini memang orang baru di pentas politik nasional, tapi enam bulan saya kira waktu yang cukup untuk bisa memahami," tutur Djayadi, saat dihubungi, kemarin (7/5).
Dia menyatakan, sebagai seorang presiden dalam sistem presidensial, Jokowi memiliki banyak peralatan politik yang bisa digunakan ketika menghadapi tekanan politik. Baik, dari partai-partai pengusung maupun pihak-pihak di sekitarnya.
"Presiden harus sadar kalau dia punya kewenangan dan kekuatan yang luar biasa, harus bisa berkata tidak ketika menghadapi tekanan dan desakan yang semestinya tidak dilaksanakan," imbuhnya.
Djayadi kemudian memetakan pihak-pihak di balik munculnya wacana perlunya Jokowi segera melakukan reshuffle. Desakan paling besar adalah dari partai-partai pengusung, terutama PDIP. Selain itu, menurut dia, Wapres Jusuf Kalla juga termasuk yang secara langsung atau tidak langsung ikut pula mendorong.
Dia yakin, kalau seandaianya presiden akhirnya menyatakan tidak akan melakukan reshuffle dalam waktu dekat seperti diinginkan beberapa pihak tersebut, tidak akan ada yang bakal mundur atau meninggalkan pemerintahan.
"Sudah, yakin lah tidak akan ada yang mundur. Menjadi presiden ya memang harus begitu, harus sadar dan bisa menggunakan kekuatan dan kewenangan secara maksimal," tandasnya.
Djayadi termasuk yang memandang kalau perombakan kabinet belum menjadi kebutuhan pemerintah saat ini. Waktu enam bulan menjalankan pemerintahan terlalu pendek untuk dijadikan rentang waktu guna mem-punishment seorang anggota kabinet.
"Kalau sekadar evaluasi sampai ada warning keras seperti diberikannya rapor merah, masih oke lah, tapi kalau reshuffle tunggu hingga setidaknya satu tahun," katanya.
Dia menambahkan situasi saat ini sangat tidak kondusif. Kesimpangsiuran wacana reshuffle bisa mempengaruhi kinerja para menterinya. "Harus segera ada kepastian, tidak boleh dibiarkan terlalu lama situasi ketidakpastian ini," imbuhnya.
Saat ini, Jokowi sedang berada di luar Jakarta. Hingga 11 Mei 2015 nanti, dia melakukan serangkaian kunjungan kerja ke sejumlah daerah. Mulai dari Maluku, Maluku Utara, hingga Papua. Presiden dan rombongan kemungkinan juga akan singgah ke Papua Nugini. (dyn/dim)
JAKARTA - Berbagai tekanan politik agar segera dilakukan reshuffle kabinet, diharapkan menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan kualitas
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- 5 Berita Terpopuler: Info Terbaru dari BKN soal PPPK Tahap 1, Tolong Jangan Diabaikan
- AKBP Christian Kadang Bakal Proses Anak Buah yang Lalai Gunakan Senpi
- TNI AL Kerahkan Tim Untuk Bantu Padamkan Kebakaran Kapal di Batam
- BNN: Sulsel Darurat Narkoba Urutan Kelima di Indonesia
- 17 Warga Sukabumi Keracunan Jamur, 7 Dirawat di Rumah Sakit
- PT TAS & SKI Kembangkan Teknologi Bahan Bakar Buatan Melalui Proses Plasmalysis