Telaga Wan An

Oleh: Dahlan Iskan

Telaga Wan An
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya tidak melihatnya lagi, pun sisa-sisanya. Semua rumah sudah terbuat dari bahan-bahan modern. Hasil pabrik.

Bata sudah mahal. Juga berat. Kian sedikit yang membuat bata: mau dibakar dengan apa. Tidak mungkin lagi dapat kayu bakar. Izin menebang kayu tidak mudah. Pakai minyak solar lebih mahal.

Waktu remaja saya sering ikut membuat bata. Di desa. Termasuk untuk mengganti dinding rumah kami yang dari bambu.

Saya bisa mengaduk lumpur, mencetaknya, menjemur bata setengah kering dengan teknik menumpuknya yang bersilang-silang, lalu menumpuk bata kering dengan cara khusus: agar ada lubang untuk kayu bakar.

Lalu menimbunnya dengan kayu. Harus cukup untuk membakar nonstop 2 x 24 jam. Sampai bata itu berwarna merah. Matang.

Bata sangat rakus kayu. Pepohonan habis. Itulah masa lalu.

Dalam perjalanan ini saya ditemani seorang wanita, insinyur sipil, rancang bangun, dan seorang lulusan teknik elektro. Saya bisa bertanya apa saja.

''Apakah hilangnya arsitektur Tiongkok di pedesaan ini tidak akan mengubah budaya Tiongkok?'' tanya saya.

Kemakmuran rupanya sudah begitu merata. Sudah sampai ke desa yang nun begitu jauh, padahal, provinsi ini, kabupaten ini, termasuk wilayah termiskin di Tiongkok.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News