Teletong

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Teletong
Ilustrasi. Grafis: Rahayuning Putri Utami/JPNN.com

Omong kosong warung kopi ditanggapi oleh teman-teman yang ngariung bersama-sama, satu sama lain saling kenal secara personal. Mungkin terjadi debat, adu argumen, dan diskusi panas. Tapi umumnya tidak pernah terjadi insiden yang sampai menjurus adu fisik.

Kalau ada debat keras, biasanya debat dengan saling adu otot saja. Debat semacam itu disebut sebagai debat kusir. Entah mengapa disebut demikian, mungkin kusir delman atau dokar suka berdebat dengan kuda, atau kusir berdebat sendirian dan kuda hanya mendengar sambil tetap cuek.

Omong kosong di dunia digital dikomentari oleh ribuan, puluhan ribu, bahkan jutaan orang. Mereka adalah para pengikut atau followers. Di dunia warung kopi, teman adalah sahabat yang kita kenal secara personal.

Di dunia virtual teman adalah teman digital yang tidak kita kenal secara personal, dan, bisa jadi, seumur hidup tidak pernah akan kita temui.

Tentu terjadi juga diskusi dan debat di dunia virtual. Seperti omong kosong di warung, debat virtual itu sering kali menjadi debat kusir yang tidak banyak manfaatnya. Karena di dunia digital tidak ada kusir delman, maka tidak ada istilah debat kusir.

Malah debat semacam itu diberi istilah keren sebagai "engagement" atau keterlibatan.

Sebelum muncul era hoaks, bahasa Inggris menyebut omong kosong sebagai "tahi sapi" atau dalam bahasa Jawa teletong. Bullshit, begitu kata orang Inggris.

Entah sejarah etimologinya bagaimana hingga orang yang omong kosong disebut sebagai teletong tahi sapi. Mungkin karena omongannya tidak ada manfaat, sehingga dianggap seperti teletong.

Semoga Indonesia tidak mengalami kutukan sejarah dengan munculnya presiden penipu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News