Teliti Ulat Sagu, Siswa Papua Raih Perunggu Lomba Riset Dunia

Kandungan Proteinnya Lebihi Telur Ayam Kampung

Teliti Ulat Sagu, Siswa Papua Raih Perunggu Lomba Riset Dunia
Mike Juneth Christin Toan (kiri) bersama Fialdy Joshua Pattiradjawane, peserta lain, setelah mengikuti International Conference of Young Scientists ke-19 di Belanda. Foto : Surya Institute for Jawa Pos
Mike menuturkan, motivasi awal penelitian itu adalah semakin menguatkan tingkat konsumsi ulat sagu, terutama bagi masyarakat Papua. Apalagi, saat ini konsumsi ulat sagu oleh penduduk yang tinggal di perkotaan mulai turun. Ulat sagu hanya ramai dikonsumsi ketika masyarakat menyambut acara adat tertentu. Selain dimakan mentah, ulat sagu sering diolah seperti hidangan sate kambing dengan bumbu khas Papua.

Berdasar hasil penelitian itu, Mike yakin bahwa ulat sagu dapat menjadi makanan alternatif  yang bermanfaat bagi tubuh orang yang mengonsumsinya. Terlebih bila harga telur naik, masyarakat cukup mencari ulat sagu di hutan-hutan. "Ulat sagu juga bisa mengurangi beban ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan proteinnya," jelas dia.

Menurut Mike, banyak alasan mulai menurunnya tingkat konsumsi ulat sagu di Papua. Salah satunya, sebagian masyarakat merasa kurang nyaman saat mengonsumsi ulat sagu dalam keadaan masih hidup atau utuh. "Termasuk saya. Saya belum pernah memakan ulat sagu dalam keadaan utuh," ucap dia.

Sambil melakukan penelitian, Mike membuat berbagai olahan berbahan ulat sagu. Mulai keripik, bakso, bakwan, spageti, hingga sandwich. Hasilnya, papar dia, menakjubkan. Ulat yang semula membuat geli jadi enak disantap. "Rasanya sekilas seperti kerang. Kenyal-kenyal gitu," ucap dia.

Ulat sagu yang dikonsumsi banyak masyarakat Papua ternyata mengandung protein tinggi. Paling tidak, itulah hasil penelitian yang dilakukan Mike Juneth

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News