Tenganan Pegrigsingan, Masyarakat Tanpa Kelas di Pulau Bali

Tenganan Pegrigsingan, Masyarakat Tanpa Kelas di Pulau Bali
Gerbang masuk dusun Tenganan Pegringsingan, Karangasam, Bali. Di kampung ini, kerbau merupakan binatang suci. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Paska kebakaran 1841, orang Tenganan kembali membangun kampungnya. Dan, pada 1842, mereka kembali menulis lontar awig-awig

"Penulisnya bernama Made Gurit," ungkap I Ktut Sudiastika berdasarkan cerita yang didapat dari para leluhurnya. 

Awig-awig yang terdiri dari 61 pasal merupakan aturan main, semacam undang-undang. Mengatur laku sosial di Tenganan. 

"Sekarang awig-awig inilah lontar tertua di sini," sambungnya. Selain itu, tak ada literatur yang mengisahkan sejarah masyarakat Tenganan. 

Pun demikian, Anak Agung Gde Putra Agung (82), putra raja terakhir Karangasem, Anak Agung Agung Ang Lurah Ktut Karangasem mengakui, keberadaan masyarakat Tenganan jauh lebih dulu sebelum Kerajaan Karangasem berdiri pada awal abad 17.

"Kami keturunan Airlangga. Dari Jawa," ungkap Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Udayana Bali itu, kepada JPNN.com, di Puri Agung Karangasem, tadi malam (1/6). 

"Sebelum kerajaan ini berdiri, orang Tenganan sudah di sini," katanya.

Kampung Tenganan Pegringsingan berada di ujung Timur pulau Bali. Secara administratif masuk wilayah Kabupaten Karangasem, Bali. (wow/jpnn)

PADA 1841 kampung Tenganan Pegringsingan--pemukiman orang Bali kuno terbakar. Dokumen sejarah berupa lontar-lontar ludes dilalap si jago merah. Sejarah


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News