Terkenang Upi dan Artidjo
Jumat, 11 September 2009 – 19:21 WIB
Joseph Adi Prasetyo lebih menukik lagi. Ia bilang dalam diskusi publik sore itu, bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi sebagai hak asasi manusia, dan karenanya negara harus melindungi setiap warga negara yang menggunakan hak konstitusional itu.
Misalkan, dalam rangka menggunakan hak itu ada warga negara yang melakukan tindak kekerasan, maka ia akan diproses secara hukum karena tindak kekerasan itu. Bukan karena hak berekspresi atau kebebasan pers itu sendiri.
Lagipula, ini zaman bukanlah zaman Orde Baru yang represif. Pers dibisukan, bahkan diberedel, seperti nasib Majalah Tempo pada 1994 lampau. Tokoh demonstran bisa diculik. Kritik dianggap mbalelo. Tak ayal, kebebasan berekpresi adalah anugerah reformasi 1998, sehingga demokratisasi mulai mekar, meski belum sempurna.
Mungkin ada yang sinis dan menyindir bahwa kebebasan pers telah kebablasan. Tunggu, Bung! Pers yang bebas sangat mungkin melahirkan pers yang baik dan buruk. Tapi pers yang ditekan dan dibungkam, percayalah, pasti melahirkan pers yang buruk belaka.