Ternyata, Ngeri Banget Dampak Kecanduan Chatting dan Game
Mereka juga merasa bisa memecahkan masalah sendiri dengan mencari bantuan di fitur-fitur gadget dan chatting dengan sesama pecandu gadget. Hal itu lambat laun akan berpengaruh terhadap kondisi psikis mereka.
”Mereka lalu menarik diri dari pergaulan masyarakat,” ucap dosen psikologi Universitas Persada Indonesia tersebut.
Beberapa cara dilakukan Dika untuk ”mengobati” pasien-pasiennya itu. Bagi pasien yang sudah akut, dia akan merujuk ke psikiater dan menyarankannya untuk mengonsumsi obat khusus bagi psikopat. Sedangkan pasien yang belum parah akan dia dampingi langsung untuk penyembuhan.
”Saya juga akan minta bantuan teman pasien untuk ikut memantau perkembangannya,” tutur Dika.
Gejala-gejala gangguan psikologis akibat TI itu menarik perhatian Dika sejak masuk bangku kuliah pada 2007. Awalnya, pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, tersebut mengambil jurusan teknologi informasi di kampus tempat mengajarnya sekarang.
Setelah melakukan penelitian tentang tingkat kesadaran diri terhadap disiplin, Dika memutuskan untuk memperdalam ilmu psikologi.
”Ternyata, orang yang tidak disiplin itu, salah satunya, karena faktor teknologi,” ujar pria 29 tahun tersebut.
Begitu lulus dan mendalami persoalan kejiwaan akibat TI, banyak ”korban” teknologi digital yang datang kepadanya. Baik untuk sekadar konsultasi maupun terapi guna menyembuhkan penyakit akut itu.
Praktisi psikologi teknologi informasi (TI) makin sibuk menangani para korban efek negative era digital. Contohnya, Andika Yunianto yang kini mempunyai
- Arasoft Dorong Digitalisasi Pendidikan di Indonesia
- Cucun Hadiri Kolaborasi Medsos DPR RI dengan Masyarakat Digital di Lembang
- Digitalisasi untuk Mendorong Pengembangan Pariwisata Indonesia Perlu Dilakukan
- Melly Goeslaw: Revisi UU Hak Cipta Solusi Hadapi Kemajuan Platform Digital
- Mahasiswa President University Sabet Juara Stacks Harvard Hackathon
- Program Digital Access Inggris Menjembatani Kesenjangan di Indonesia Timur