Tersangka Dilarang Nyalon Justru Bahaya

Tersangka Dilarang Nyalon Justru Bahaya
Irman Putra Sidin. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin juga menilai bahwa pengaturan larangan tersangka maju pilkada tidak bisa diterapkan. Asas presumption of innocence akan dilanggar. 

”Ingat, dalam sistem hukum kita tersangka bukanlah orang bersalah,” kata Irman, kemarin. 

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa pengaturan tersebut rawan memunculkan politisasi hukum menjelang pilkada. ”Harga tersangka akan diobral oleh penegak hukum. Ini bisa jadi ancaman bagi demokrasi,” imbuhnya. 

Sementara itu, penegak hukum mendapat kritikan atas terjadinya fenomena tersangka yang bisa mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama ini masih banyak terpidana korupsi yang tidak dicabut hak politiknya. Padahal tindakan korupsi jelas-jelas menciderai masyarakat.

’’Di Indonesia ini enak betul, asal tobat pelaku korupsi bisa mengikuti pemilu dan menduduki lagi jabatan publik,’’ ujar peneliti ICW Emerson Yunto. 

Apa yang disampaikan Emerson memang sesuai kenyataan. Jangankan Polri atau Kejaksaan, KPK pun kerap tebang pilih dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi.

Tidak semua pelaku korupsi di KPK mendapatkan pencabutan hak politik. Sebut saja yang terbaru penuntutan terhadap mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Setidaknya, Gatot saat ini terlibat dalam sejumlah kasus penyuapan. Dua diantaranya sudah disidangkan dalam satu berkas dakwaan. Namun dalam tuntutan, selain hanya dituntut 4,5 tahun, KPK tak menyertakan pencabutan hak politik.

Jika nantinya dalam semua perkara Gatot hanya divonis tak lebih dari 5 tahun, kelak saat keluar penjara dia bisa berpolitik dan maju lagi dalam jabatan publik. Gatot mendapatkan vonis ringan karena KPK menganggap dia bersedia bekerjasama mengungkap pelaku lain atau justice collaborator.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News