Tidak Tergantung pada Bola
jpnn.com - INDONESIA tiba-tiba jadi negeri sepakbola. Semua orang bicara bola. Mulai dari presiden sampai sinden tergila-gila bola. Nama-nama seperti Christian Gonzales, Irfan Bachdin, Oktavianus Maniani, atau Bambang pamungkas, jadi begitu enteng meluncur dari mulut mereka. Tim nasionalnya bagaikan kesebelasan raksasa yang siap melumat tim negara manapun.
Nyanyian “Garuda di dadaku..,” yang diadaptasi dari lagu daerah Papua (Apuse), seketika jadi lagu kebangsaan. Senantiasa bergema di stadion, mengiringi kemenangan demi kemenangan timnas Indonesia atas lawan-lawannya. Malaysia, Laos, Thailand, Filipina, dilibas nyaris tanpa balas.
Maka dari lapangan hijau itu, atmosfir “merah putih” membayang di langit khatulistiwa. Merangsang jutaan pasang mata menengadah. Bangga. Penuh harap. Membuat semua persoalan bangsa seperti menguap. Keterpurukan di hampir semua lini akibat lemahnya visi dan kepemimpinan nasional tersingkir dari hati yang luka.
Sayang, kompetisi antar-negara di Asia Tenggara yang diselenggarakan AFF (Asean Football Federation) itu, hanya sesaat. Pada Rabu, 29 Desember sudah final. Sehingga kalau toh akhirnya Indonesia juara, euforia kemenangan umurnya paling lama dua pekan.
Setelah itu, rakyat Indonesia bakal kembali bergelimang persoalan kehidupan yang seragam. Daya beli menurun. Kebutuhan hidup melonjak. Mereka lalu kembali mempersoalkan kenapa persoalan-persoalan yang semula tidak menjadi persoalan sekarang tumbuh jadi persoalan yang tak terselesaikan? Kenapa kita sering terperosok ke lubang yang sama berkali-kali? Kenapa para pemimpin politik formal di negeri ini menjadi seperti keledai?
Bila sudah begini, kesadaran rakyat niscaya akan kembali seperti sediakala. Sehingga kita mampu melihat ASEAN menjadi hanya sepenggal kawasan di pojok Asia. Maka ajang sepakbola Piala AFF Suzuki 2010 pun sesungguhnya bukan Piala Asia yang melibatkan seluruh negara di benua Asia. Sudah tentu dibandingkan dengan Piala Dunia, AFF Suzuki Cup ini hanya sepersekiannya… Ibarat kejuaran tingkat provinsi.
Kalau kesadaran sudah kembali normal, tentu bakal merasa sangat wajar bila Timnas Merah Putih sanggup melibas Filipina, Laos, bahkan Malaysia. Sebab dilihat dari sudut mana pun, Indonesia memang lebih unggul. Bahkan Presiden Yudhoyono merupakan satu-satunya pemimpin ASEAN yang punya album lagu!
Lalu kenapa kemarin kita begitu bersukacita secara sangat berlebihan melihat Timnas sanggup melibas Filipina, bahkan tatkala berhasil melumat negeri sekecil Laos? Kenapa pula pemain produk naturalisasi seperti Gonzales dan Irfan Bachdim yang jadi topik di hampir seluruh warung kopi di negeri ini?