Tiga Kali Gagal, Lima Pesawat Jatuh dan Hilang
Setelah pesawat tanpa awak Wulung untuk tujuan militer dan spionase, kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, juga menciptakan pesawat tanpa awak Camar Biru. Pesawat itu bisa dimanfaatkan untuk mengawasi arus lalu lintas dan mengirim bantuan ke daerah bencana.
DODY BAYU PRASETYO, Jogjakarta
SEMAKIN banyak anak bangsa yang mampu menciptakan karya inovatif untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Salah satunya berupa pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) untuk tujuan sipil oleh Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM.
"Camar Biru ini kami buat untuk kepentingan sipil dan kemajuan ilmu pengetahuan," kata Gesang Nugroho, dosen Teknik Mesin UGM sekaligus salah seorang dosen pembimbing dalam pengembangan proyek pesawat tanpa awak, kepada Jawa Pos kemarin (1/10).
Camar Biru merupakan generasi ketiga proyek pesawat tanpa awak yang dikembangkan UGM sejak 2012. Proyek yang digagas dan dikembangkan Flying Object Research Center (Force) tersebut menelan dana lebih dari Rp 300 juta.
Proyek dimulai pada Februari 2012. Awalnya, UGM mengirimkan proposal ke JICA, Jepang. Proposal disetujui, mereka mendapat dana riset Rp 250 juta selama dua tahun untuk penciptaan pesawat autopilot itu. Proyek tersebut juga mendapat bantuan Rp 82 juta dari LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) UGM serta Rp 87 juta dari Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud.
"Pada awal riset, pesawat yang kami buat berukuran besar. Tapi, begitu diterbangkan, dalam 5 menit sudah jatuh. Pesawat percobaan pertama itu kami beri nama Gagak, sesuai dengan bentuk dan ukurannya," jelas pria kelahiran Klaten, 5 Oktober 1971, tersebut.
Tidak patah arang, Gesang bersama para mahasiswanya yang tergabung dalam tim Force kembali membuat pesawat autopilot dengan menggunakan bahan yang lebih ringan, yakni resin komposit. Tapi, setelah jadi, pesawat itu masih terlalu berat.
"Saya tidak berani menerbangkannya. Takut kalau jatuh menimpa orang," kenangnya.
Namun, Gesang cs belum menyerah. Mereka kembali merancang pesawat ringan yang aman diterbangkan tanpa pilot. Badannya menggunakan kayu yang dilapisi resin, sedangkan bagian sayap dan ekor menggunakan plastik. Ukurannya lebih kecil. Hal itu dimaksudkan agar pesawat bisa diterbangkan dengan aman dan lincah.
Tim Force sempat membuat lima pesawat kecil generasi kedua dari Gagak itu. Tapi, setiap diterbangkan, pesawat selalu jatuh dan hilang. Mungkin diambil orang yang menemukan.
Meski begitu, mereka terus melakukan evaluasi. Hasilnya, terciptalah pesawat yang lebih ringan, lebih kecil, dan punya daya jelajah yang memadai sebagai pesawat pemantau. Pesawat itulah yang kemudian diberi nama Camar Biru. Pesawat tersebut memiliki panjang 120 cm dengan tinggi 30 cm. Camar Biru mampu terbang hingga ketinggian 600 meter dari permukaan laut dengan kecepatan 60 km per jam.
"Untuk saat ini Camar Biru bisa terbang paling lama hingga 15 menit. Pesawat autopilot itu menggunakan baterai untuk menggerakkan mesinnya," jelas suami Ratna Widiastuti tersebut.
Begitu diyakini Camar Biru "layak terbang", UGM lalu berani me-launching ciptaannya tersebut di Lapangan Graha Sabha Pramana, kampus UGM Jogjakarta, 25 September. Saat itu Camar Biru sudah dilengkapi kamera, global positioning system (GPS), sensor stabilitas, sensor ketinggian, serta sensor kecepatan.
"Saat penampilan perdana di hadapan wartawan tersebut, saya yang paling ketar-ketir. Sebab, kalau pesawat itu gagal terbang atau jatuh menimpa orang, habislah saya," ucapnya.
Namun, launching Camar Biru sukses. Pesawat tanpa awak pertama dari UGM tersebut mampu terbang di atas kampus Bulaksumur selama 15 menit. Camar Biru bisa terbang sejauh 8 kilometer dengan kecepatan 60 km/jam. Selain itu, pesawat tersebut dapat difungsikan untuk mengirimkan live video, menghasilkan peta udara dari mozaik foto, serta mampu dropping payload di lokasi tertentu.
Baling-baling Camar Biru sengaja ditempatkan di tengah badan pesawat yang diarahkan ke ekor pesawat. Hal itu dimaksudkan untuk kepentingan keamanan pesawat, tetapi tidak sampai mengganggu keseimbangan pesawat selama terbang.
"Dengan baling-baling ditempatkan ke arah belakang, saat pesawat jatuh, tidak akan merusak motornya. Juga tidak mengganggu saat ada payload yang dijatuhkan. Fungsi kamera juga aman," terangnya.
Ke depan, pihak UGM merencanakan untuk mengembangkan generasi keempat pesawat tanpa awak tersebut. Untuk generasi keempat itu, mereka akan mendesain pesawat yang lebih besar, yang mampu terbang dengan range 40 kilometer. Pesawat tersebut saat ini didesain bersama oleh UGM dan PT DI (Dirgantara Indonesia) Bandung.
"Sementara ini rata-rata pesawat ini terbang pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Sebab, untuk terbang di atas 200 meter, kami harus meminta izin kepada otoritas penerbangan terlebih dahulu," jelasnya. (*/c5/c9/ari)
Setelah pesawat tanpa awak Wulung untuk tujuan militer dan spionase, kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, juga menciptakan
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408