Tiga Kasus Berbeda, Siap Meledak Kapan Saja
Minggu, 25 Desember 2011 – 19:37 WIB
Dalam surat perjanjian tersebut, tertulis beberapa kesepakatan. Salah satunya, kerja sama pengelolaan lahan plasma selama sepuluh tahun sejak 2002. Selama kurun waktu tersebut, warga yang memiliki lahan plasma mendapatkan bagi hasil per bulan. Besaran bagi hasil itu tiap bulan berbeda-beda.
Pada tahun pertama (2002), warga seharusnya memperoleh Rp 195 ribu per bulan per hektare. Hingga tahun kesepuluh (2011), bagi hasil yang diterima warga per bulan naik menjadi Rp 405 ribu per bulan per hektare. Selama kurun waktu sepuluh tahun, warga memang hanya diberi uang bulanan karena perusahaan memotong besaran bagi hasil itu dengan biaya perawatan dan pembibitan. Aturan kerja sama lahan plasma lazimnya memang seperti itu.
Nah, pada tahun kesepuluh, seharusnya kerja sama berakhir dan lahan plasma yang telah ditanami sawit menjadi hak warga. Warga bisa meneruskan kerja sama pengelolaan atau mengelola sendiri lahan tersebut.
Namun, kenyataannya, sejak 2002 hingga saat ini warga tidak mendapatkan bagi hasil apa pun dari PT SWA. Menurut penuturan Ma’unah, pihak PT SWA pernah mengatakan bahwa kerja sama itu dibatalkan. Pembatalan tersebut dilakukan di hadapan Kades lama sebelum Ma’unah. ”Tapi, saya cek ke Kades lama, yang terjadi tidak seperti penuturan mereka. Seharusnya, kalau batal, SPT milik warga kan dikembalikan,” ujarnya.
PENGADUAN warga kampung adat Megou Pak soal pembantaian di Mesuji membuat publik memfokuskan perhatian ke Lampung. Sebab, dalam pengaduan ke DPR
BERITA TERKAIT
- Heboh Anggaran Belanja Gamis & Jilbab Senilai Rp 1 M Lebih di Kabupaten Banggai
- Kunker ke Riau, Menteri Hanif Faisol Tutup TPA Liar di Kampar
- 209 Warga Terdampak Pergerakan Tanah di Kadupandak Dievakuasi
- Ombudsman Minta Polda Sumbar Ungkap Motif Kasus Polisi Tembak Polisi Secara Transparan
- Lulus SKD, 163 Pelamar CPNS Batam Lanjut ke Tahap SKB
- Puluhan Ribu Masyarakat Pekanbaru Penuhi Kampanye Akbar Agung-Markarius