Tiga Perempuan Ini Punya Pekerjaan yang Masih Jarang Dilakukan Warga Indonesia di Australia
Eka yang menjadi koordinator bekerja mula pukul 6 sampai jam 3 sore.
Mulai memandikan klien, menyiapkan makanan, menemani jalan-jalan hingga mengantar ke dokter adalah tugas sehari-harinya.
"Tantangannya itu kesabaran. Kalau orang demensia itu kan kita berhubungan dengan orang yang lupa, otaknya mengecil, apalagi yang sudah advance," ujar Eka.
"Gambarannya itu, seperti bayi. Kalau kita bawaannya kesal, pasti pasien kita juga kesal. Menangani orang demensia itu harus dengan cara sangat halus," kata Eka, yang sebelumnya bekerja di panti jompo.
Ia mengaku senang menjalani profesinya karena bisa bekerja delapan jam di satu tempat.
Keluarga kliennya juga sangat mendukung, bahkan disiapkan mobil untuk mengantar klien kemana-mana, termasuk jalan-jalan ke 'mall' yang sangat disukainya.
"Dari segi gaji pun lumayan besar, lebih besar dari gaji kantoran. Kami dikasih dua kartu bank, yang satu buat belanja kebutuhan sehari-hari dan kartu satunya khusus buat kebutuhan medis klien," ujar Eka.
Menurut Eka, seiring dengan berjalannya waktu, kliennya benar-benar sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik, dan meski masih bisa bicara tapi tinggal satu dua kata.
Dari hasil sensus di Australia, kebanyakan warga diaspora Indonesia bekerja sebagai karyawan toko, akuntan, di restoran, atau pembersih
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan
- Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi
- Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa
- Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia
- Trump Menang, Urusan Imigrasi jadi Kekhawatiran Warga Indonesia di Amerika Serikat