Tinggalkan Indonesia karena Kerusuhan '98, Perempuan Tionghoa Ini Menjadi Finalis Penghargaan Australia

"Peristiwa ini membuat saya merasa, apalagi dulu, kalau saya memiliki ras yang berbeda ... saya masih menganggap Indonesia sebagai rumah, tapi merasa tidak disambut."
Saat ini, di usianya yang ke-35, Wendy sudah meraih banyak prestasi di dunia kerja.
Ia bekerja sebagai mitra perpajakan konsultan Deloitte Australia, di antara segelintir mitra perempuan keturunan Tionghoa lainnya di sana.
Wendy pun menjadi salah satu finalis penghargaan "40 Under 40" yang diperuntukkan bagi warga keturunan Asia berusia di bawa 40 tahun di Australia atas kontribusi mereka di komunitas.
Ia merupakan satu dari beberapa warga keturunan Tionghoa yang menjadi finalis dan merasa bertanggung jawab membantu kelompok minoritas di Australia.
Mengubah rasa sakit menjadi seni
Kerusuhan 1998 juga meninggalkan luka dalam diri perempuan Tionghoa-Jawa, Rani Pramesti, yang meninggalkan Jakarta ke Australia saat umurnya 12 tahun.
"Pada kerusuhan Mei '98, saya mengalami seperti apa rasanya tidak diperlakukan secara manusiawi," katanya.
Rani yang juga menjadi salah satu finalis penghargaan "40 Under 40" menerbitkan novel grafis digital berjudul "Chinese Whispers" pada tahun 2013.
Beberapa warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia pada kerusuhan 1998 di Australia ingin membantu masyarakat yang tergolong minoritas
- Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Reformis, Meninggal Dunia pada Usia 88 tahun
- Dunia Hari Ini: PM Australia Sebut Rencana Militer Rusia di Indonesia sebagai 'Propaganda'
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia