Tinggalkan Kampung Halaman, Putu Jadi Guru Gamelan

Tinggalkan Kampung Halaman, Putu Jadi Guru Gamelan
BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai di Tokyo akhir pekan lalu. Foto: Henny Galla/Jawa Pos
Bakatnya memainkan gamelan pun dimaksimalkan di Jepang. Dia mengajar maksimal lima jam seminggu di Otonomori. Kala itu, dia dibayar 6.000 yen (sekitar Rp 620 ribu) per dua jam.

Seiring berjalannya waktu, ternyata banyak sekali yang berminat. Mulai anak-anak usia SD dan SMP, hingga dewasa sekitar 40-50 tahun. Kebanyakan, terang Putu, yang suka gamelan adalah mereka yang pernah belajar beberapa saat di Bali. "Untuk anak-anak, kebanyakan orang tuanya yang pernah ke Bali," jelas pria kelahiran 9 Juni 1975 itu.

Bagi Putu, mengajarkan gamelan kepada masyarakat Jepang memang lebih susah dibandingkan pemuda-pemuda Banjar di kampung halamannya. Gap budaya membuat respons kepekaan terhadap melodi dan gerakan tangan saat memukul instrumen gamelan tak cepat sinkron.

Walau begitu, kualitas masyarakat Jepang yang pintar dan kritis membuatnya tak begitu berat untuk mengajar. Jika rajin menghadiri kelas, sekitar dua bulan saja para murid sudah bisa menyinkronisasi kedua tangan dan melodi.

MENGABDI bertahun-tahun di negeri orang sebenarnya bukan pilihan Putu Gede Setiawan. Namun, tragedi di tanah air memicunya untuk merantau jauh dari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News