Tinggalkan Kampung Halaman, Putu Jadi Guru Gamelan
Senin, 04 Februari 2013 – 08:15 WIB
BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai di Tokyo akhir pekan lalu. Foto: Henny Galla/Jawa Pos
Bakatnya memainkan gamelan pun dimaksimalkan di Jepang. Dia mengajar maksimal lima jam seminggu di Otonomori. Kala itu, dia dibayar 6.000 yen (sekitar Rp 620 ribu) per dua jam.
Seiring berjalannya waktu, ternyata banyak sekali yang berminat. Mulai anak-anak usia SD dan SMP, hingga dewasa sekitar 40-50 tahun. Kebanyakan, terang Putu, yang suka gamelan adalah mereka yang pernah belajar beberapa saat di Bali. "Untuk anak-anak, kebanyakan orang tuanya yang pernah ke Bali," jelas pria kelahiran 9 Juni 1975 itu.
Bagi Putu, mengajarkan gamelan kepada masyarakat Jepang memang lebih susah dibandingkan pemuda-pemuda Banjar di kampung halamannya. Gap budaya membuat respons kepekaan terhadap melodi dan gerakan tangan saat memukul instrumen gamelan tak cepat sinkron.
Walau begitu, kualitas masyarakat Jepang yang pintar dan kritis membuatnya tak begitu berat untuk mengajar. Jika rajin menghadiri kelas, sekitar dua bulan saja para murid sudah bisa menyinkronisasi kedua tangan dan melodi.
MENGABDI bertahun-tahun di negeri orang sebenarnya bukan pilihan Putu Gede Setiawan. Namun, tragedi di tanah air memicunya untuk merantau jauh dari
BERITA TERKAIT
- Sang Puspa Dunia Hiburan, Diusir saat Demam Malaria, Senantiasa Dekat Penguasa Istana
- Musala Al-Kautsar di Tepi Musi, Destinasi Wisata Religi Warisan Keturunan Wali
- Saat Hati Bhayangkara Sentuh Kalbu Yatim Piatu di Indragiri Hulu
- Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
- Kisah Jenderal Gondrong ke Iran demi Berantas Narkoba, Dijaga Ketat di Depan Kamar Hotel
- Petani Muda Al Fansuri Menuangkan Keresahan Melalui Buku Berjudul Agrikultur Progresif