Tingwe

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tingwe
Tembakau kering yang menjadi bahan baku rokok. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

Mulanya sekadar industri rumah tangga, industri kecil yang dikerjakan di halaman rumah pemilik usaha, rokok produk dalam negeri kemudian tumbuh menjadi industri besar yang menguasai pasar nasional. Ini terjadi usai ramuan produk rokok kretek yang terdiri dari campuran tembakau dan cengkeh ditemukan di Kudus pada akhir abad ke-19.

Sejak saat itu, hingga hari ini, perlahan-lahan rokok kretek merangkak naik produksi dan penjualannya. Hingga pada akhirnya, pada periode 70-an, produk rokok kretek mulai merebut pasar rokok nasional yang sebelumnya dikuasai rokok putihan.

Puncaknya, hari ini rokok kretek menguasai lebih dari 90 persen pangsa pasar Indonesia.

Kejayaan rokok kretek benar-benar dimanfaatkan oleh negara untuk ikut ambil keuntungan dari bisnis ini. Cukai diterapkan terhadap produk rokok, termasuk rokok kretek.

Praktis dengan hanya ongkang-ongkang, tiap tahun negara bisa mendapat banyak pemasukan dari cukai rokok. Setiap tahun pula, negara menaikkan angka cukai rokok dengan bermacam skema.

Meski demikian, produk rokok tetap laris di pasar nasional. Rokok kretek memiliki penggemar setia dengan cakupan yang merata dan luas, dengan varian produk yang beragam menyesuaikan selera pasar.

Sekarang cukai rokok kembali dinaikkan. Kali ini dengan kenaikan sampai 12 persen. Tingkat kenaikan ini sangat tinggi karena biasanya kenaikan berkisar di bawah 10 persen.

Mungkin Sri Mulyani sudah putus asa mencari akal untuk mendapat tambahan pemasukan kas negara. Sangat mungkin juga ada pesan sponsor, supaya harga rokok menjadi mahal sehingga konsumen rokok kretek berkurang.

Salah satu bentuk perlawanan yang muncul sekarang adalah lewat gerakan tingwe yang mulai gencar dilakukan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News