Tionghoa, Dulu dan Sekarang (1)
Hollands Spreken, Peranakan, dan Totok
Senin, 26 Januari 2009 – 08:57 WIB
Sedang yang totok, umumnya menjadi penjual jasa dan pedagang kelontong. Lalu jadi pemilik bengkel kecil. Lama-kelamaan mereka inilah yang memiliki pabrik-pabrik.
Karena kesulitan berbahasa (Belanda, Indonesia, maupun bahasa daerah) golongan totok menjadi "tersingkir" dari pergaulan formal yang umumnya menggunakan tiga bahasa itu.
Sebagai golongan yang terpinggirkan, orang totok harus bekerja amat keras untuk bisa bertahan hidup. Pada mulanya mereka tidak bisa bekerja di pabrik karena tidak "nyambung" dengan bahasa di pabrik. Mereka juga tidak bisa bertani karena untuk bertani memerlukan hak atas tanah. Mereka hanya bisa berdagang kelontong dari satu kampung ke kampung lain dan dari satu gang ke gang yang lain. Kalau toh mencari uang dari pabrik, bukan secara langsung namun hanya bisa berjualan di luar pagarnya: menunggu karyawan pabrik bubaran kerja.
Golongan peranakan lebih kaya, tapi status sosialnya masih kelas dua. Status sosial tertinggi adalah golongan hollands spreken. Sedangkan status sosial terendah adalah totok. Anak-anak golongan hollands spreken umumnya harus kawin dengan yang hollands spreken. Yang peranakan dengan peranakan. Demikian pula yang totok dengan totok. "Kalau kamu kawin sama anak totok, nanti kamu makan pakai sumpit," kata-kata orang tua si hollands spreken. "Kalau kawin dengan peranakan, nanti kamu makan pakai tangan."