Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)

Tionghoa Bersambut, Bagaimana Yin Ni Hua Ren?

Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)
Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)
Jawa Pos memang menjadi koran pertama di Indonesia yang secara sadar mengambil kebijaksanaan tersebut. Memang ada yang mencela dan mencibir bahwa Jawa Pos tidak ilmiah. Juga tidak mendasarkan kebijakan itu pada kenyataan yang hidup di masyarakat, yakni bahwa semua orang sudah terbiasa menyebut kata ’’cina’’. Mengapa harus diubah-ubah?

Saya tidak bisa menjawab dengan alasan bahwa kata cina itu terasa ’’menyudutkan’’ dan ’’menghinakan’’. Mereka akan selalu bilang bahwa ’’kami tidak merasa seperti itu’’. Atau, mereka akan mengatakan ’’Ah, itu mengada-ada’’. Bahkan, ada yang bilang, ’’Kok kita tidak ada yang tahu ya bahwa sebutan cina itu melecehkan’’.

Memang, kenyataannya sebenarnya seperti itu. Tapi, juga tidak mengada-ada bahwa golongan Tionghoa merasa seperti itu. Setidaknya sebagian di antara mereka yang lama-lama menjadi mayoritas di antara mereka. Yakni, sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa waktu itu bahwa penyebutan kata ’’cina’’ bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tapi juga untuk ’’menyudutkan’’ ras tersebut. Yakni, untuk ’’mencina-cinakan’’ mereka dalam konotasi yang semuanya jelek.

Tentu, tidak semua orang Tionghoa tahu itu. Bahkan, banyak orang Tionghoa yang mengatakan ketika dipanggil ’’cina’’ juga tidak merasa apa-apa. Lebih dari itu, kata Tionghoa berasal dari bahasa daerah di Provinsi Fujian-Guangdong dan sekitarnya.

Lalu, bagaimana dengan orang ’’cina’’ yang dulunya berasal dari luar wilayah itu? Tapi, adanya latar belakang pencina-cinaan itulah akhirnya yang membuat umumnya orang Tionghoa dari mana pun asal-usulnya dulu ikut tahu dan merasakan penyudutan tersebut.

ZAMAN berubah. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru, perubahan itu begitu drastisnya, sehingga terasa terlalu tiba-tiba. Belum pernah orang Tionghoa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News