Tiongkok Bantah Cuci Otak Jutaan Muslim Uighur
jpnn.com, BEIJING - Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB mengecam penahanan sekitar 1 juta warga muslim Xinjiang oleh pemerintah Tiongkok. Jumat (10/8), komite PBB itu mengklaim punya bukti pelanggaran HAM Tiongkok tersebut. Kemarin, Senin (13/8) Beijing membantah keras tudingan itu.
"Pemerintah Xinjiang menjamin penuh kebebasan beragama masyarakatnya. Pemerintah juga melindungi keyakinan dan aktivitas religius mereka," tegas Hu Lianhe, wakil Dirjen United Front Work Department (UFWD) Partai Komunis Tiongkok, sebagaimana dilansir Reuters.
Dia menampik klaim PBB soal tujuan penangkapan dan penahanan sekitar 1 juta penduduk Xinjiang untuk dicuci otak. Kabarnya, pencucian otak itu dilakukan secara paksa agar umat muslim keturunan Uighur di Xinjiang meninggalkan Islam. Dengan demikian, mereka hanya akan taat pada Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sebab, di Negeri Panda, tidak boleh ada entitas yang lebih tinggi dari PKT.
Hu menegaskan, pemerintah melindungi hak asasi penduduknya. Termasuk beragama. Namun, pemerintah juga mengawasi aktivitas beragama mereka agar tidak melenceng. Misalnya, menjadi radikal atau fanatik. Karena itu, belakangan, pemerintah Xinjiang gencar melakukan razia antiteror di kawasan tersebut.
"Ada militan dan separatis Islam yang ingin mengacaukan Xinjiang. Mereka yang terpapar paham ekstrem itulah yang kami bantu. Yakni, lewat reedukasi, deradikalisasi, dan relokasi," terang Hu. Namun, karena jumlah orang yang diamankan terlalu banyak, masyarakat menuduh pemerintah sengaja merepresi kaum Uighur.
Di sisi lain, PBB tidak percaya begitu saja. Wakil Direktur Komite PBB Gay McDougall menilai pembelaan Hu tidak tepat. "Hanya klaim bahwa mereka tidak melanggar hak sama sekali tak bisa membuktikan apa pun."
McDougall lantas menyoroti program deradikalisasi dan reedukasi pemerintah. Menurut dia, program-program yang mendadak muncul itu menjadi bukti bahwa pemerintah ingin mengenyahkan Uighur. Setidaknya, menjauhkan mereka dari tempat tinggal dan keluarga. Sebab, untuk menjalani reedukasi dan deradikalisasi, kaum Uighur harus tinggal di kamp detensi.
"Kami mendapat laporan tentang penahanan masal etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya," ungkap McDougall. Laporan tersebut diperkuat dengan data yang diambil di lapangan dan kesaksian beberapa warga Uighur. Karena itu, dia berharap pemerintah Tiongkok bisa memberikan bukti yang lebih nyata dari sekadar bantahan.