Tiongkok Mencoba Mengubah Kawasan Muslim Xinjiang Jadi Pusat Pariwisata
"Saya tidak mengizinkan istri saya bekerja," katanya.
"Saya percaya jika kami menghabiskan penghasilannya, kami akan ke neraka dan memaksanya untuk tinggal di rumah. Saya juga mempromosikan nilai-nilai ini kepada orang-orang di sekitar saya."
Dia membantah adanya penganiayaan di fasilitas kamp tersebut, dengan mengklaim kalau ia mendapat makan dengan baik, bisa bermain catur dan membaca buku dan bahkan diizinkan pulang pada akhir pekan.
"Setelah belajar, saya menyadari bahwa pandangan agama radikal merugikan orang. Saya tidak lagi memiliki pola pikir seperti itu. Saya bisa bergaul dengan orang-orang dari etnis dan agama apa pun."
Komentar tersebut sesuai dengan narasi yang ditetapkan pemerintah, menurut Peter Irwin, Associate Director untuk penelitian dan advokasi di lembaga Uyghur Human Rights Project (UHRP).
"Mereka memakai narasi ini karena takut dan ancaman hukuman yang selalu ada karena melanggar aturan… Orang-orang sangat takut untuk mengatakan hal yang salah, bertemu orang yang salah, atau berkomunikasi dengan orang dari luar negeri," jelas Peter.
"Mereka menahan orang-orang karena mengekspresikan nilai keagamaan yang paling mendasar… Memiliki Al-Quran di rumah bisa membuat Anda ditahan selama 10 tahun. Apakah itu masyarakat yang normal?"
Kebebasan beragama 'tak ada sama sekali'
Di Kashgar hari ini, bendera Tiongkok berkibar di atas kubah masjid yang runtuh.
Selama beberapa tahun, wilayah Xinjiang ditutup dari banyak media di dunia. Apa rencana pemerintah Tiongkok sebenarnya?
- Siapa Saja Bali Nine, yang Akan Dipindahkan ke penjara Australia?
- Dunia Hari Ini: Menang Pilpres, Donald Trump Lolos dari Jerat Hukum
- Dunia Hari Ini: Kelompok Sunni dan Syiah di Pakistan Sepakat Gencatan Senjata
- Wanita Global
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu