Tiongkok Mencoba Mengubah Kawasan Muslim Xinjiang Jadi Pusat Pariwisata
Yusuf Hussein meninggalkan Xinjiang pada tahun 1999 dan sekarang tinggal di Adelaide, ibukota Australia Selatan.
Dia menjaga kontak rutin dengan keluarganya di Xinjiang, menelepon untuk mengobrol hampir setiap minggu.
Namun pada tahun 2017, tahun ketika kamp penahanan bagi warga Uyghur mulai beroperasi, ia tak bisa lagi melakukannya.
"Setelah itu, saya tidak mendengar lagi kabarnya. Mereka tidak mengangkat telepon," ujarnya.
Tahun lalu, dia mendapat kabar buruk. Ayahnya meninggal tiga bulan sebelumnya.
"Itulah satu-satunya kabar yang saya terima. Dan tidak memberikan rincian apa pun apakah [ayah saya] sakit atau berada di kamp konsentrasi atau di mana," katanya.
Museum mengerikan di Xinjiang
Seperti kehancuran akibat Revolusi Kebudayaan pada tahun 1960an dan pembantaian Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, Tiongkok tampaknya memulai kampanye kolektif untuk melupakan tindakan keras di Xinjiang.
Sebuah museum di ibu kota Urumqi, yang mengirim pesan soal "Perang Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang", menguraikan secara rinci periode kerusuhan berdarah di provinsi tersebut.
Selama beberapa tahun, wilayah Xinjiang ditutup dari banyak media di dunia. Apa rencana pemerintah Tiongkok sebenarnya?
- Dunia Hari Ini: Kelompok Sunni dan Syiah di Pakistan Sepakat Gencatan Senjata
- Wanita Global
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis