Tri Dharma
Oleh: Dahlan Iskan
Grand Heaven seperti hotel bintang lima. Bahkan banyak yang mengira itu memang hotel. Betul saja, itu memang hotel: bagi orang yang telah meninggal dunia. Mobil pengangkut mayatnya pun menarik: bertulisan journey to heaven.
Format peringatan satu tahun Pak Ongko itu persis seperti mesong: seolah jenazah Pak Ong masih ada di situ.
Masing-masing pengurus maju ke altar. Ada foto besar Pak Ongko di atas altar itu. Mereka pun secara secara bergilir membakar yosua. Menggerak-gerakkannya seperti sembahyang. Lalu menancapkan yosua menyala itu ke pot yang diisi abu. Mereka lantas menghormat ke foto Pak Ong yang ada di atas altar.
Saya lihat tiga orang datang dari sejauh Palembang. Di Palembang kelenteng anggota Tri Dharma memang paling banyak: 70 kelenteng. Ada juga dari Riau. Di sana anggotanya juga banyak.
Kelenteng Tri Dharma adalah kelenteng untuk umat Tao, Buddha, dan Konghucu. Awalnya ini soal politik.
Sejak peristiwa tahun 1965, Konghucu tidak boleh hidup. Kelentengnya ditutup. Tetapi kenyataannya kelenteng Konghucu terlalu banyak. Maka secara politis dicarikan jalan keluar: dijadikan kelenteng Tri Dharma. Nama Konghucu ''disembunyikan'' di balik Buddha.
Lama-lama Tri Dharma seperti agama tersendiri. Bahkan sempat ada yang ingin membuat kitab suci Tri Dharma. Ongko Prawiro jadi ketua umumnya.
Anda sudah kenal Ongko: ia orang kaya yang punya anak 39 orang. Dari 4 istri. Bukan karena mau poligami, tetapi untuk mistis. Ia percaya: istri tuanya akan meninggal kalau ia tidak kawin lagi. Pun istri keduanya dan ketiganya.